Rabu, 21 November 2012

Cyber Love Story

Kalian pernah mengalami cerita cinta di dunia maya? Di jaman yang serba internet ini, rasanya bukan sesuatu yang mengherankan ketika sepasang kekasih bertaut cinta di dunia maya. Demi menyambut terbitnya buku Cerita Cinta Dunia Maya, LeutikaPrio pun mengadakan event Cylovest atau Cyber Love Story. Event ini mengajak para penulis yang punya kisah cinta di dunia maya untuk berbagi ceritaya. Ternyata cukup banyak juga yang mempunyai kisah cinta di dunia maya. Dan melihat kesibukan panitian penyelenggara yang sibuk memilih pemenang, mimin pun nimbrung dan minta salah satu naskah terbaiknya.

Dan inilah naskah cylovest yang membuat mimin cukup menitikkan air mata. Entah mimin yang terlalu cengeng atau ceritanya yang memang mengharu biru. Oiya, baca cerita ini dengan mendengarkan lagu yang sengaja dibuat oleh penulis untuk pujaan hatinya di sini >>  http://www.4shared.com/mp3/CRYUFP6g/suara_020.html 




Cinta Sepasang Banci Kuis

Pernahkah kau merasa sangat mencintai seseorang hingga logikamu sulit berpikir; apakah ini cinta yang tepat, ataukah salah tempat. Menurutmu apakah salah jika aku menaruh hati pada sahabatku sendiri? Lelaki yang biasa memelukku dikala sedih, menyusut airmataku saat lelaki lain menyakiti. Bagiku dia lebih dari sekedar penyejuk hati, namun dia kusabda bagai matahari. Semangatnya meletup-letup bagai sinar kehidupan, hangatnya memeluk setiap pengharapanku yang hampir karam.
Ya, aku mencintai sahabatku sendiri. Aku ingin dia lebih dari sekedar itu; menjadi suamiku, tautan hatiku, pereda gundahku, pemilik segala asaku, tempatku berpulang dari segala letih dan kecemasan.
Aku mencintainya, aku ingin dia memahami apa maksudku. Itu saja. Aku ingin dia membaca hatiku, menangkap maksud di mataku; bahwa kali ini aku tidak sedang bercanda seperti biasanya…
Namun entah mengapa kenyataan ini begitu pahit. Entah… Apa memang Tuhan sudah menakdirkan demikian? Pasti.
Memang kita manusia hanya pandai menghujat takdir. Kita merasa semuanya terlalu cepat, terlalu singkat. Namun adakah takdir Tuhan yang tidak tepat?
Saat dia belum sempat memaknai perasaanku, Dia–pemiliknya–mengambil lelaki yang kucinta, sahabat yang menghiburku dikala duka, penyindir mentalku yang terkadang masih manja. Lelaki yang sudah kuanggap saudara, diam-diam kusimpan kekaguman berbuah cinta. Februari kami rayakan ultahnya ke-24. September kuantar dia ke liang lahat…
Aku menangis tiada hentinya. Melolong disamping pusaranya. Memeluk nisannya seakan tak rela jika alam menasbihkan cerita cinta kami mengalami akhir yang berbeda.
Betapa sakitnya jika kematian datang menjemput orang yang sangat kita cinta… Melihat dia diturunkan ke liang lahat, dipeluk bumi, tertimbun bersama segala catatan hidupnya, mimpi-mimpi agung beserta dedikasinya di usia yang masih terlalu muda. Sangat muda. Serasa separuh jiwa ini ikut terkubur bersama gundukan tanah merah basah yang ditaburi bunga-bunga yang layu sebelum waktunya.
Alam telah memisah dua hati yang saling mencinta, alam menciptakan dimensi yang berbeda; dimana rindu dan airmata sudah tak akan lagi berguna. Tak ada lagi maknanya. Sebab tak ada tukang pos yang sanggup mengantar surat cinta dari bumi ke surga.
Cinta. Lima huruf yang akan tetap menjadi misteri dalam hidup. Alasanku menuliskan cerita yang tak biasa bersama Tian, sahabatku, di akhir hidupnya.
***
Pernah dengar istilah ‘banci kuis’? Ya, bermula dari kegilaanku pada jejaring sosial bernama twitter dan hobiku mengikuti berbagai kuis dari akun produk-produk yang sedang mengadakan promosi. ‘Banci kuis’ adalah julukan yang disematkan bagi mereka yang gemar berburu hadiah dan pecinta gratisan. Kegiatan ini tidak bisa diremehkan sebab nyatanya ‘banci kuis’ sudah berkembang menjadi sebuah media promosi para pemegang brand dalam mengiklankan produk mereka pada konsumen. Dan keuntungan bagi kami bukan hanya sekedar perburuan hadiah-hadiah seru, namun juga menambah reputasi dunia maya, menambah teman (followers), serta adu kreativitas.
Siang terik itu, aku sedang menunggu seorang teman disebuah warung bakso di dekat kampus. Rencananya kami akan bersama-sama mengunjungi rumah dosen pembimbing untuk konsultasi tugas akhir. Lama sekali tak muncul batang hidungnya hingga dua gelas es kelapa muda di hadapanku ludes. Dengan setengah gemas, aku menekan beberapa tombol angka pada Bellagio-ku.
“Nya, jangan kelamaan, dosennya mau pergi nih… Kerjasamanya donk,” dengusku kesal pada sebuah suara yang menyahuti di ujung sana.
“Iya tunggu,” jawab Sonya santai dan singkat. Entah apa yang masih dilakukan dia disana. Yang jelas Ibu Diah, dosen pemimbing kami sudah mengingatkan aku lewat blackberry messenger agar kami datang sebelum pukul dua siang sebab Beliau akan menghadiri seminar.
Penat, aku membolak-balik jilidan tugas akhir yang tengah kuperjuangkan dengan susah payah. Nasibku selama tiga tahun sebagai calon ahli madya sekretari sangat ditentukan oleh lembaran-lembaran ini. Membuat tugas akhir tenyata tak semudah mencontek saat ujian, apalagi untuk program studi yang tak banyak memiliki bahan referensi seperti yang sedang kuambil saat ini.
Seperti biasa, jika bosan telah merajai isi kepala maka twitter adalah ladang pelampiasan paling ciamik. Disana aku membuang keluh, mengentas peluh. Bertemu teman-teman maya, teman-teman baru dan teman-teman lama yang pintar bermain acak kata konyol.
“Lebih baik jadi yang kedua tapi selalu diutamakan daripada jadi yang pertama tapi selalu diduakan.” –@tianddd
Baru saja membuka tab home timeline dan aku menemukan si konyol Tian tengah berkicau disana. Ia adalah teman baru yang kukenal dari sebuah akun bernama @aslisuroboyo. Karena kami follower setia akun tersebut dan sering mendapat retweet dari sang admin, maka dunia pun memperkenalkan kami. Tian mem-follow akunku dan semakin sering mengajakku battle kalimat sableng.
“Aku akan memakai kostum kingkong bersama @buleg_darmi di #ArisanLux di depan @atiqahhasiholan | @LUX_ID” –@tianddd
Selanjutnya aku tertawa simpul menemukan tweet tersebut di tab mention. Rupanya Tian sedang mengikuti kuis dari akun sebuah produk sabun wanita. Hahaha. Memang lucu. Bagaimana seorang laki-laki normal masih saja terobsesi memenangkan sebuah kuis padahal jelas saja akun tersebut sebagian besar followers-nya adalah kaum hawa. Aku membalasnya. Aku turut serta dalam perayaan kuis itu, dan aku harus menjadi pemenang! Sedetik berpikir, kemudian… Hap! Ide kutangkap.
“Aku akan menculik @atiqahhasiholan di #ArisanLux untuk dijodohkan dengan jomblo lapuk @tianddd | @LUX_ID”
Satu tweet kurang. Maka kutulis lagi dua. Tiga. Hinga lima… Dan semuanya di retweet oleh si penyelenggara. Am I the winner?
***
Cito Surabaya, 4 Desember 2011…
            Akhirnya aku memenangkan kuis itu. Tweet gila-ku berhasil terpilih bersama 9 perempuan lain yang sudah hadir dengan membawa pasangan masing-masing. Sebagian besar mereka membawa sahabat sesama perempuan atau saudara kandungnya yang juga perempuan. Berbeda denganku yang terlihat lucu dengan menggandeng Tian disana. Ya, aku mengajak Tian agar menjadi pasanganku di hari nan bahagia itu.
            “Yan, temani aku ketemu Atiqah besok pagi di Cito. Bisa kan? Sekalian kita ketemuan, kan aku belum pernah tahu wujud aslimu,” kataku di ujung telepon semalam.
            “Kamu lagi dimana ini? Kalo di Surabaya ngga ada kesibukan buat besok, ikut aku yah…,” lanjutku seolah ingin meyakinkan dia agar menyetujui ajakanku dan tidak memberinya ruang untuk menolak. Agak memaksa, memang. Aku ingin bertemu dia…
“Hai… Tian,” kata seorang cowok mengampiriku. Nadanya santai dan terdengar sangat akrab di telinga. Ia mengucapkan nama “Tian” sambil mengulurkan tangannya untukku. Aku tersenyum kecil, dan kemudian tertawa terbahak. Entah demi apa aku tiba-tiba tertawa seperti itu. Perpaduan antara bahagia,senang, dan… gugup! Ya, untuk menutupi rasa gugup yang tiba-tiba datang menyelinap, aku tertawa agar mimik wajah kembali netral.
Tian yang kubayangkan dan sering kulihat di avatar twitter serta display picture blackberry messenger memang terlihat sangat manis dan modis sebagai seorang cowok. Gayanya sederhana namun jelas sekali dia menyimpan inner handsome yang sulit diungkapkan dengan kalimat paling sederhana sekalipun. Semua tebakanku pada dirinya memang benar. Dia cowok yang seru, asyik, namun tak serame di dunia maya, pada nyatanya dia sedikit pendiam. Lucunya, kami memakai kemeja yang hampir bermotif dan berwarna sama. Tanpa janjian, tanpa kesepakatan.
Hari itu berlalu dengan sangat seru. Bertemu, berbincang, makan siang, dan nonton bareng film terbaru Atiqah Hasiholan; Arisan 2. Banyak yang memuji kekompakan kami, kelucuan dan kegaduhan yang kami buat selama acara berlangsung. Tak terkecuali sang artis sendiri, si cantik Atiqah Hasiholan bintang Lux memuji kami sebagai pasangan yang inspiratif dan menghibur. Begitu juga Eva Afriana, pembawa acara yang dicomot dari salah satu radio anak muda yang tengah naik daun di Surabaya.
Lengkap sudah bahagianya. Aku telah bertemu dengan Tian. Teman baru dari twitter yang selalu nampak asyik dan lucu. Dia sama denganku yang juga penggila buku, terutama buku-buku motivasi seperti Merry Riana. Tian adalah pengagum setia Merry dan juga karya Iwan Setyawan, 9 Summers 10 Autumns.
“Aku hanya seorang kenek bus kota-kota,” begitu katanya dulu setiap aku mencoba mengenalnya lebih jauh, ingin mengetahui seluk beluk pekerjaan dia.
“Hebat banget ada kenek bus yang hobi koleksi gadget,” aku terbahak. Mementahkan pengakuan konyol darinya.
“Yasudah kalau nggak percaya. Aku memulai karirku dari bawah. Aku orang susah. Sempat jadi tukang cuci piring juga,” begitu selalu yang dia ucapkan. Ditanya mengenai karir, dia selalu menceritakan masa lalunya yang susah. Selalu saja dia ingin merendah. Jika sudah begitu, Tian tak lupa memberikan wejangan untukku agar selalu mensyukuri hidup.
“Aku lahir dalam keluarga miskin, setiap manusia tidak bisa memilih dilahirkan ditengah keluarga seperti apa. Namun saat ia beranjak besar, ia berhak memilih untuk memperbaiki strata hidupnya, seperti aku. Karena aku ingin menghapus image yang terlanjur melekat untuk keluargaku ditengah masyarakat; jika keluargaku adalah sampah! Kakak-kakakku sebagian besar hanya pengangguran yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Bapakku hanya tukang kayu yang juga berpenghasilan minim. Jadilah aku ini, anak bungsu yang ingin merubah nasibku sendiri. Sejak SMA aku berjuang membayar biaya sekolahku dengan menjadi tukang sapu sekolah. Ketika lulus, aku tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku memilih bekerja, dan sangat susah mencari yang layak. Aku memulai semuanya dengan menjadi tukang cuci piring, namun bapakku selalu mengajarikan kejujuran dan bekerja dengan tekun,” panjang lebar dia menerangkan tentang hidupnya. Tian selalu semangat jika bercerita tentang bagian ini. Aku menangkap getar-getar jiwa penuh pengorbanan sekalipun percakapan tersebut hanya melalui telepon. Jika sudah begitu, aku hanya bisa diam menyimak sambil tersenyum.
Tian Hamdi, dia adalah sosok lelaki muda yang hebat. Di usia yang baru akan menginjak dua puluh empat tahun, dia menjelma menjadi sosok yang kuat dan sangat hebat di mataku, di mata semua wanita yang mengenalnya, di mata bapak, keluarga, dan para tetangga yang dulu mencibir keluarganya, mungkin. Ia bukanlah seorang kenek bus antar kota seperti cerita fiktifnya. Tentu ia hanya bercanda, sebab yang kutahu dari info seorang teman bahwa Tian adalah manajer sebuah toko buku terkemuka di kota Malang. Ia berdinas disana, sedang rumah orang tuanya ada di Surabaya. Ia memulai karirnya dari nol hingga mendapat posisi layak seperti sekarang.
“Bersyukurlah kamu mempunyai biaya untuk kuliah. Jadi belajar yang giat supaya masa depanmu lebih baik,” kalimat itu yang selalu terngiang di kepalaku. Menjadi semangat dan tekadku agar selalu melakukan yang terbaik demi mengejar mimpiku yang tak kalah hebat dengannya.
***
Tidak ada berita yang lebih menyenangkan daripada siang di penghujung bulan Januari itu saat kubaca tab mention dan tweet Tian bertengger disana.
“@buleg_darmi, aku ditugaskan handle togamas gresik sebulan. Siapkan diri menyambutku ya.”
Aku tersenyum simpul. Bayanganku hanya satu; dalam satu bulan kedepan akan ada si gokil yang meramaikan kehidupanku di kota ini.
            Dan benar saja, ketika saat itu tiba, duniaku semakin berwarna dengan kehadiran dia. Hampir setiap malam sepulang kerja Tian datang kerumahku. Biasanya sudah kusiapkan oatmeal hangat untuk mengisi perutnya. Aku senang memandangi dia disaat seperti itu; ketika ia lahap menikmati piringnya dengan sebentuk wajah yang seakan tersenyum mengucap terimakasih melalui bibirnya yang tak henti mengunyah perlahan.
***
“Yan, mau makan apa siang ini?” tulisku melalui blackberry messenger.
“Kenapa?” balasnya beberapa menit kemudian.
“Jam berapa kamu istirahat? Aku lagi masak makanan khas Gresik nih, otak-otak bandeng yang dijamin ciamik soroh. Aku anterin ke Togamas ya, buat makan siang kamu.”
“Jam satu ya, toko agak sepi. Makasi Ra sebelumnya, ngapain kamu repot-repot?”
“Its my pleasure, ngga repot sama sekali.”
            Jadilah siang itu aku membawa hasil masakanku untuk menu makan siang Tian. Entah mengapa semakin hari aku lebih memperhatikan dia. Yang jelas aku hanya merasakan sayang dan iba; disini dia hidup sendiri tanpa keluarga. Pasti pola makannya tidak lagi terjaga.
            “Kamu jatuh cinta dengannya?” tanya ibuku saat aku mengeluarkan motor dan bersiap menuju Togamas.
            “Tidak Bu, dia sahabat saya,” sahutku pelan. Aku sendiri meragukan jawaban itu. Benarkah hanya sebatas itu?
            Kemudian aku melajukan motorku. Sepanjang jalan hanya tersenyum sambil sesekali menoleh pada rantang berisi makan siang Tian. Hatiku penuh, gempita, ingin meledak. Berbagai perasaan menggemuruh disana.
Aku memandang wajahnya lekat. Sebentuk wajah sederhana, seulas senyum yang tak pernah berlebihan. Ia lembut dan begitu berwibawa. Sangat menghargai bawahan dengan tindak-tanduknya yang selalu dia jaga sedemikian rupa. Bagiku Tian adalah wujud lelaki idaman. Nada bicaranya tak pernah meninggi, namun tak pula merendah.
            “Enak sekali masakan kamu Ra, gimana kalau aku ketagihan?” pujinya disela-sela mengunyah ‘otak-otak cinta’ buatanku. Aku tersipu malu. Susah payah menetralkan mimik wajah yang mulai bersemu. Membuyarkan pikiranku tentang dia.
            “Lain kali aku masakin kalo kamu memang suka, Yan…,” aku menyunggingkan senyum untuknya. Senyum penuh pengharapan agar ia menangkap binar kecil di mata sipitku.
            “Sejak kapan kamu mulai suka membaca dan menulis Ra?” dia berusaha menciptakan topik sambil menghabiskan sisa-sisa makanan. Saat itu kami tengah duduk berdua di bale-bale depan toko.
            “Usia sembilan tahun aku sudah mulai nuis diary. Kalo membaca, aku minim buku bacaan dirumah. Jadi agak jarang…”
            “Aku sudah membaca novelmu dan aku kagum dengan isinya. Suatu saat aku yakin kamu akan menjadi penulis hebat,” pujinya dan kemudian terbahak… Mukaku semakin bersemu merah dipuji demikian.
            “Tapi sayangnya namaku tak pernah terdengar di kota ini Yan. Banyak yang mengira asalku dari Surabaya,” sahutku.
            “Ya, disini minat baca masyarakat kurang. Jadi mereka juga tidak pernah mengetahui jika salah satu putri daerahnya berhasil menjadi salah satu penulis nasional dan bukunya beredar hingga Malaysia. Coba kamu perhatikan toko ini, sekarang saja agak lumayan. Kalau dulu, pasti lebih sepi daripada ini… Minat baca masyarakat sangat kurang padahal daya belinya tinggi.”
            Alhamdulillah Togamas Gresik mulai rame semenjak manajer ganteng yang pegang, kamu memang hebat Yan. Dedikasimu sangat besar untuk kemajuan minat baca masyarakat kotaku dengan program-program yang kamu andalkan itu…,” kali ini aku tak mau kalah ambil bagian. Membalas pujiannya. Dan kulihat ia tersenyum, sangat manis… maniiis sekali.
            “Kamu ada usul untuk program lainnya? Yang bisa lebih mengenalkan buku pada masyarakat luas?” sambungnya dengan masih tersenyum.
            “Bagaimana jika kita adakan lomba fotografi berjudul “Aku Dan Buku”, dengan setting pengambilan gambar di dalam toko. Ini juga sekalian meningkatkan omset toko. Hahahahaa…,” kami terbahak. Menikmati siang yang berarak menuju sore. Seperti secangkir kopi hangat yang memberi keharuman dalam hati kami berdua.
            “Kamu suka Mira W, Ra? Di toko ada tuh, ambil saja…,” ia membimbingku menuju dalam toko dan memberikan novel itu padaku; sebuah novel karya Mira W; “Sampai Maut Memisahkan Kita…”
***
18 Februari 2012, 00.16 WIB

Dear Tian,
From the deepest of my heart, I'd say thanks for our friendship. Now, 12 pm and ur bday comes. Even though I'm not the first to say happy bday for u, but I send to u my best wishes for ur happiness. Getting older, u get better for life and easier in every challenge. May our friendship will be everlasting. Amin yr.

--
Warmest Regards,
Ra
***
Café Delodji, 18 Februari 2012, 13.00 WIB
“Selamat ulang tahun, Yan… Semoga panjang umur. Ini kado buatmu. Semoga kamu suka,” aku mengangsurkan kado berbungkus kertas biru muda ke tangannya. Ia tersenyum seperti biasa. Selalu saja senyum itu yang jadi senjata pamungkas untuk memikat hati siapa saja yang melihatnya.
“Apa ini?”
“Buka saja nanti kalau aku sudah pergi.”
Dia mengenggam tanganku, aku membalasnya dengan kikuk. Andai dia tahu bagaimana aku menyiapkan kado spesial itu untuknya; sebuah lagu yang berisi ungkapan hatiku. Tentang rasa yang terpendam dalam hati dan mengganggu tidurku. Belum pernah aku menciptakan lagu untuk seorang lelaki dan berusaha menyanyikannya, merekamnya, dengan iringan gitar Kenny, sahabatku. Kenny juga yang membantuku sebagai music arranger.
“Malam ini tidur dengan ditemani lagu ciptaan @buleg_darmi, suaranya empuk buat kaum jomblo yang miskin kasih sayang.” –@tianddd
Tulisnya di twitter saat menjelang tidur. Aku tersanjung. Kantuk yang mendera membuatku tak sanggup lagi membalas tweet itu.
***
3 Maret 2012
Tian Sakit! Entah bagaimana ceritanya. Siang itu langsung kujemput dia ke toko, dan kuantar menuju RS terdekat. Menurut dokter ia hanya kelelahan dengan sedikit gangguan pencernaan. Badannya panas dan dia merasakan sakit melilit di sekitar lambung. Sudah pasti ini maag. Tapi akut, mungkin. Aku tak sampai hati melihatnya kesakitan.
“Jangan bekerja dulu hari ini. Liburlah sehari untuk beristirahat penuh,” aku menasehatinya sambil melangkah menuju pintu keluar RS Petrokimia Gresik.
“Tapi… Toko sedang rame Ra, apalagi Sabtu begini,” kilahnya.
“Turuti aku kali ini saja, demi kebaikanmu. Aku mau kamu sembuh. Ya?” aku menggandeng tangannya, kubimbing dia agar minggir kearah kiri untuk menuju apotek dan menukarkan resep dengan obat.
Sesampai kami di rumahku, kupersilahkan Tian beristirahat di ruang tamu. Kali ini aku ingin merawatnya. Memberikan yang terbaik untuknya. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana dia harus menahan sakit dan mengurus dirinya sendiri di kamar kost yang sempit.
“Minumlah ini Yan, mungkin bisa sedikit memulihkan tenagamu,” aku menyodorkan segelas susu sapi murni dan segelas lagi berisi susu kedelai campur gingseng. “Setelah itu kamu makan dan minum obatnya ya,” aku kembali ke dapur untuk mengambil sesuatu yang tertinggal; sepiring nasi dengan sayur bayam serta tiga potong ‘otak-otak cinta’ kegemaran dia. Aku melihat Tian tersenyum. Dan hanya itu saja sudah mampu menggetarkan hatiku. Ya, dengan senyumannya… Mungkin aku sudah jatuh cinta.
Malam menjelang, kurasakan suhu badan Tian belum reda. Malah semakin memanas. Aku menahan tangis, antara kuatir dan takut kalau-kalau Tian semakin parah. Dia tengah tertidur lelap di ruang tamuku, dengan lampu yang tak kunyalakan agar tidurnya tak terganggu. Dalam temaram, aku memandangi wajahnya, rambutnya, alisnya, hidungnya, bibirnya… Sebentuk wajah yang menanggung beban berat di usia yang masih sangat belia. Ia lahir ditengah keluarga miskin. Ibunya wafat ketika ia berusia enam tahun, sedang bapaknya menyusul empat bulan yang lalu.
Aku mendekat, kuraba pipinya, keningnya, lehernya. Masih panas. Aku sangat takut… Entah perasaan apa yang kupendam kala itu. Kuambil selimut lalu kulingkupkan di sekujur tubuhnya.
“Tidur yang nyenyak, Sayang. Aku menjagamu disini…,” ucapku dalam hati. Setetes embun menitik dari mataku jatuh tepat di dada kirinya.
Namun hingga tengah malam kutunggu, kondisi tubuhnya semakin lemah. Kini Tian merasakan sesak pada dadanya. Aku menangis khawatir. Entah mengapa aku jadi teramat sensitif malam itu. Seolah aku tak ingin Tian merasakan kesakitan sedikit saja.
“Aku nggak pa-pa Ra, jangan khawatir begitu,” ucap Tian diantara nafasnya yang satu-satu dan kemudian terbatuk hebat. Aku mendekap tubuhnya. Tak kupedulikan apakah tabu atau memalukan jika aku berbuat demikian padanya.
“Yan, kita ke UGD malam ini. Pokoknya aku nggak mau tahu. Kita berangkat sekarang Yan…,” tangisku.
Ibuku datang dari dalam, menyaksikan kami berdua yang sedang bersitegang.
“Iya Yan, ayolah ke UGD. Takut kamu semakin parah, Nak…,” Ibuku menimpali. Tian diam saja. Entah apa yang ia pikirkan. Kalau sekedar biaya, aku yakin itu bukan soal baginya. Sebab dia sudah pasti membekali dirinya dengan asuransi kesehatan.
Tengah malam itu, hampir pukul dua belas aku membonceng Tian menuju RS Petrokimia Gresik. Aku tak peduli dinginnya malam menggigit tulang, yang kupikir hanya bagaimana caranya menyelamatkan Tianku, Tian yang aku sayangi saat itu.

RS Petrokimia Gresik, 4 Maret 2012 01:14
            “Kamu belum tidur Ra?” Tian menoleh kearahku yang duduk disebelahnya sambil membaca Mira W. yang ia beri beberapa hari lalu. Aku meletakkan novel yang sedang kubaca, kemudian memandangi wajahnya dengan seksama.
            “Kamu tidurlah, aku yang jaga. Kita gantian saja yaa… Disini kita bawa banyak gadget kamu. iPhone, Galaxy note, laptop, blackberry, iPad, semua kamu bawa disini. Nggak lucu kalau kita kemalingan, kan?” gurauku menciptakan sebuah alasan.
            “Tapi nanti kamu capek Ra, kasian kamu.”
            “Kamu lebih kasihan, karena kamu yang sakit. Sudah ayo tidur jangan bawel. Kamu ini kenapa bawel banget Yan,” aku pura-pura ngambek. Tiba-tiba Tian meringis kecil sambil memegangi perutnya.
            “Kenapa Yan?” ketakutan kembali menerpaku.
            “Sakit dikit,” jawab Tian sambil masih memegangi perutnya.
            “Minum obat, terus tidur.”
            “Tapi, ngga ada air disini. Gimana?”
            Mati. Saking terburu-burunya ke UGD tadi, aku tidak sempat pergi belanja ke swalayan membeli air mineral. Celakanya lagi, dompetku pun ikut tertinggal. Tak kehilangan akal, aku pergi keluar. Mencari air mineral sampai dapat. Demi Tian agar dapat menelan obatnya. Ya, demi Tian.
            Aku mengetuk ruangan perawat jaga tengah malam buta.
            “Suster, boleh saya meminta air? Sedikit saja suster,” pintaku. Dengan wajah galau. Sedikit penat. Mengantuk pula.
            “Hemmm kantin tutup pukul segini Mbak. Punya botol bekas? Ambil saja disini…,” jawab perawat bertubuh kurus itu.
            “Ngga punya Suster. Trus gimana?” sahutku lesu. “Yasudah, terimakasih.” Aku berlalu meninggalkan ruangan perawat itu. Nihil. Aku kembali ke kamar inap Tian dengan muka serba salah.
            “Gimana Ra? Dapat airnya?” tanya Tian penuh harap.
            “Maaf Yan, ngga ada. Kalo aku keluar, yang jaga kamu siapa? Kamu sabar sampai besok pagi ya Yan, maafkan aku,” aku sudah hampir putus asa ketika pintu kamar diketuk seseorang.
            “Mbak, tadi waktu check in belum dapat air mineral botolan ya?” tanya suster yang kudatangi tadi.
            “Belum.”
            “Ini Mbak…,” suster itu memberikan sebotol air mineral yang kuanggap sebagai air suci yang turun dari langit. Baru kali ini aku menganggap sebotol air mineral bermakna lebih dari sekedar nyawaku sendiri.
            Setelah pintu tertutup kembali, kubimbing Tian meminum obat-obatnya. Sungguh aku tak sampai hati melihatnya dalam kondisi demikian; seorang Tian yang banyak dipuja kaum hawa di jejaring sosial yang melambungkan namanya di jagat Surabaya bernama, malam ini dia menghabiskan malam denganku; gadis biasa yang tak pernah terlihat mewah di mata lelaki.
Dalam gelap, aku melihatnya tertidur dengan sangat tenang. Kubelai keningnya perlahan, kupijit tangannya pelan-pelan. Adakah hal yang sanggup menerjemahkan perlakuanku ini, kecuali sebuah getar cinta yang mulai kurasakan? Sebuah debar halus nan hangat pada sahabatku sendiri, lelaki yang kuanggap seperti saudara dan kini entah mengapa kutangisi dia seperti seorang kekasih hatiku.
Aku menangis malam itu. Masih membelai keningnya. Menggenggam tangannya. Aku benar-benar mencintai sahabatku sendiri. Ya, perasaan itu benar-benar jelas kurasa. Diam-diam menyelinap dalam temaram ruang kamar kami berdua, mencuri hatiku yang rapuh karena pengkhianatan seorang pria terdahulu.
Tian membuka matanya…
“Kamu menangis, Ra? Kenapa?” tanya dia dengan suara pelan. Matanya mengerjap menahan kantuk. Dan aku sungguh tak ingin menyembunyikan airmataku. Biarlah Tian melihatnya, menemukannya.
“Tidurlah. Aku hanya kasihan melihatmu begini. Sudah kurus, sakit-sakitan,” gurauku. Aku berdusta. Batal mengungkapkan maksud hatiku yang sebenarnya. Padahal, apakah mungkin sekarang akan menjadi waktu yang tepat untuk membicarakan cinta? Entahlah. Aku tak pernah berpikir kesenanganku sendiri. Yang penting dia lekas sembuh.
***
            Beberapa bulan setelah itu, hubunganku dan Tian merenggang. Kami semakin jauh. Tian kembali ke Malang, masa tugasnya di Gresik telah berakhir. Dan karena kesibukannya, dia tak sempat berpamitan langsung ke rumahku, pada orang tuaku. Aku memakluminya sebab aku paham betul bagaimana kesibukannya sebagai manajer dan juga asisten pribadi pimpinan Togamas Malang. Tian hanya sempat menelpon ibuku sebentar, namun kupahami getar kedekatan antara mereka berdua. Ya, akankah ibu dan Tian kelak akan benar-benar menjadi sepasang mertua dan menantu?
            Hingga suatu ketika, di hari kedua Idul Fitri. Tian jatuh sakit lagi. Ia harus opname lagi. Aku kira sakit perutnya kembali kambuh. Aku hanya mengirimkan pesan singkat di blackberry messenger.
“Gimana kondisimu Yan? Minal aidzin wal faidzin, selamat lebaran buat kamu sekeluarga. Mohon maaf belum sempat menjenguk,” tulisku.
“Aku juga mohon maaf, sampaikan kangenku ke ibu dan adik. Nanti kalo sembuh aku ke Gresik ya,” balasnya.
“Kita 0-0 berarti?”
“Bukan, 1-0. Aku 1 dan kamu 0, alias bulet,” dasar Tian gila yang masih bisa bercanda walaupun sedang sakit begini.
            Dua minggu berselang, dan Tian belum juga keluar dari Rumah Sakit. Sementara kesibukanku yang saat itu baru saja diterima sebagai Sekretaris di salah satu BUMN sedang padat-padatnya.
“@tianddd mohon maaf aku belum bisa jenguk. U know me, still busy. Miss u much.” –tulisku di akun twitter milikku.
“Meskipun kita jauh, hati kita selalu dekat. Aku kangen kamu Ra, kapan kita bisa bertemu?” ia membalas melalui blackberry messenger. Dua kalimatnya menggetarkan hatiku. Apakah ini jawaban dia atas segala perasaanku yang belum sempat terucap? Yah, persis seperti lagu yang kubuat untuknya sebagai kado ulang tahun Tian ke-24. Bahwa aku mengaguminya, aku sering merindukannya, dan aku tak pernah berani mengungkapkan perasaan itu.
***
Jika ada sesal yang paling memberati hatiku, sepanjang hidupku, mungkin adalah ketakutanku mengungkapkan isi hati pada seorang Tian. Hingga hari itu, 9 September 2012 ia berpulang pada Tuhannya karena pneumonia yang menggerogoti paru-parunya. Tian bukan seorang perokok, namun dia sering berdekatan dengan perokok aktif. Bodohnya, aku tak pernah tahu penyakit tersebut. Aku telat mendengar berita buruk lelaki yang sangat kucinta. Kemana saja aku selama ini? Kesibukan kantor telah memisahkan ikatan batinku dengannya; Tian, lelaki yang kukenal lewat twitter, cyber love story kami bermula disana.
“Hey kamu yang manis, kamu yang mempesona, tahukah kamu aku mengagumi dirimu…,” laguku berdengung-dengung mengiringi pemakaman Tian. Mataku tak henti mengeluarkan tangis, isak berjejalan di kerongkongan. Tak ada satu hal pun yang dapat merubah kenyataan. Cintaku telah berpulang untuk kembali pada penciptanya. Ia hadir diam-diam, berlalu juga dengan diam dan tak pernah memberi tanda.
Aku memandang sekali lagi gundukan tanah yang masih basah dan ditaburi banyak bunga. Rasanya berat kaki melangkah pergi meninggalkan rumah peristirahatan terakhir orang yang begitu kucinta. Berat melepasnya tidur sendiri, menanggung gelap dan kesepian hingga kehidupan berakhir nanti. Aku membelai nisannya sekali lagi, ingin menangis lagi namun aku sadar bukanlah tindakan bijak meratapinya seperti ini. Selamat jalan, Cinta. Mungkin lebih baik kupendam rasa ini sendiri, tanpa banyak orang mengetahui, dan bahkan kamu sendiri…
Laguku masih berdengung, ingatanku kembali pada setahun yang lalu. Saat pertama kali membaca tweet konyolnya, saling follow, bertukar pin blackberry, bertukar nomor hape. Ingatanku melayang mengitari Cito, Togamas Gresik, Café Delodji, RS Petrokimia Gresik, ruang tamu rumahku… Semua memori berjejalan, berlomba menghukum aku yang tak paham rindunya. Tak mengabulkan keinginannya untuk bertemu denganku menjelang kematiannya.
Kukecup nisan Tian dan aku berlalu tanpa menengok lagi. Aku tak ingin dia melihat airmataku yang semakin deras. Sebab kuyakin dia masih berdiri disana, mengawasiku dalam rinai kamboja berguguran…
Terkadang ada rindu yang tak mungkin menjumpai ujung. Terkadang ada rindu yang hanya bisa tersampai melalui doa. Ya, ketika orang tercinta sudah menemui Tuhannya untuk mereguk cinta yang sebenarnya.
*********

*demi kenyamanan nama tokoh dan setting tempat disamarkan



0 komentar: