Cyber Love Story
Kalian pernah mengalami cerita cinta di dunia maya? Di jaman yang serba internet ini, rasanya bukan sesuatu yang mengherankan ketika sepasang kekasih bertaut cinta di dunia maya. Demi menyambut terbitnya buku Cerita Cinta Dunia Maya, LeutikaPrio pun mengadakan event Cylovest atau Cyber Love Story. Event ini mengajak para penulis yang punya kisah cinta di dunia maya untuk berbagi ceritaya. Ternyata cukup banyak juga yang mempunyai kisah cinta di dunia maya. Dan melihat kesibukan panitian penyelenggara yang sibuk memilih pemenang, mimin pun nimbrung dan minta salah satu naskah terbaiknya.
Dan inilah naskah cylovest yang membuat mimin cukup menitikkan air mata. Entah mimin yang terlalu cengeng atau ceritanya yang memang mengharu biru. Oiya, baca cerita ini dengan mendengarkan lagu yang sengaja dibuat oleh penulis untuk pujaan hatinya di sini >>
http://www.4shared.com/mp3/CRYUFP6g/suara_020.html
Cinta Sepasang Banci Kuis
Pernahkah kau merasa
sangat mencintai seseorang hingga logikamu sulit berpikir; apakah ini cinta
yang tepat, ataukah salah tempat. Menurutmu apakah salah jika aku menaruh hati
pada sahabatku sendiri? Lelaki yang biasa memelukku dikala sedih, menyusut
airmataku saat lelaki lain menyakiti. Bagiku dia lebih dari sekedar penyejuk
hati, namun dia kusabda bagai matahari. Semangatnya meletup-letup bagai sinar
kehidupan, hangatnya memeluk setiap pengharapanku yang hampir karam.
Ya, aku mencintai
sahabatku sendiri. Aku ingin dia lebih dari sekedar itu; menjadi suamiku,
tautan hatiku, pereda gundahku, pemilik segala asaku, tempatku berpulang dari
segala letih dan kecemasan.
Aku mencintainya, aku
ingin dia memahami apa maksudku. Itu saja. Aku ingin dia membaca hatiku,
menangkap maksud di mataku; bahwa kali ini aku tidak sedang bercanda seperti
biasanya…
Namun entah mengapa
kenyataan ini begitu pahit. Entah… Apa memang Tuhan sudah menakdirkan demikian?
Pasti.
Memang kita manusia hanya
pandai menghujat takdir. Kita merasa semuanya terlalu cepat, terlalu singkat.
Namun adakah takdir Tuhan yang tidak tepat?
Saat dia belum sempat
memaknai perasaanku, Dia–pemiliknya–mengambil lelaki yang kucinta, sahabat yang
menghiburku dikala duka, penyindir mentalku yang terkadang masih manja. Lelaki
yang sudah kuanggap saudara, diam-diam kusimpan kekaguman berbuah cinta.
Februari kami rayakan ultahnya ke-24. September kuantar dia ke liang lahat…
Aku
menangis tiada hentinya. Melolong disamping pusaranya. Memeluk nisannya seakan
tak rela jika alam menasbihkan cerita cinta kami mengalami akhir yang berbeda.
Betapa sakitnya jika
kematian datang menjemput orang yang sangat kita cinta… Melihat dia diturunkan
ke liang lahat, dipeluk bumi, tertimbun bersama segala catatan hidupnya,
mimpi-mimpi agung beserta dedikasinya di usia yang masih terlalu muda. Sangat
muda. Serasa separuh jiwa ini ikut terkubur bersama gundukan tanah merah basah
yang ditaburi bunga-bunga yang layu sebelum waktunya.
Alam telah memisah dua
hati yang saling mencinta, alam menciptakan dimensi yang berbeda; dimana rindu
dan airmata sudah tak akan lagi berguna. Tak ada lagi maknanya. Sebab tak ada
tukang pos yang sanggup mengantar surat cinta dari bumi ke surga.
Cinta. Lima huruf yang
akan tetap menjadi misteri dalam hidup. Alasanku menuliskan cerita yang tak
biasa bersama Tian, sahabatku, di akhir hidupnya.
***
Pernah dengar istilah
‘banci kuis’? Ya, bermula dari kegilaanku pada jejaring sosial bernama twitter
dan hobiku mengikuti berbagai kuis dari akun produk-produk yang sedang mengadakan
promosi. ‘Banci kuis’ adalah julukan yang disematkan bagi mereka yang gemar
berburu hadiah dan pecinta gratisan. Kegiatan ini tidak bisa diremehkan sebab
nyatanya ‘banci kuis’ sudah berkembang menjadi sebuah media promosi para pemegang brand
dalam mengiklankan produk mereka pada konsumen. Dan keuntungan bagi kami bukan
hanya sekedar perburuan hadiah-hadiah seru, namun juga menambah reputasi dunia
maya, menambah teman (followers), serta
adu kreativitas.
Siang terik itu, aku
sedang menunggu seorang teman disebuah warung bakso di dekat kampus. Rencananya
kami akan bersama-sama mengunjungi rumah dosen pembimbing untuk konsultasi
tugas akhir. Lama sekali tak muncul batang hidungnya hingga dua gelas es kelapa
muda di hadapanku ludes. Dengan setengah gemas, aku menekan beberapa tombol
angka pada Bellagio-ku.
“Nya, jangan kelamaan,
dosennya mau pergi nih… Kerjasamanya donk,” dengusku kesal pada sebuah suara
yang menyahuti di ujung sana.
“Iya tunggu,” jawab
Sonya santai dan singkat. Entah apa yang masih dilakukan dia disana. Yang jelas
Ibu Diah, dosen pemimbing kami sudah mengingatkan aku lewat blackberry messenger agar kami datang
sebelum pukul dua siang sebab Beliau akan menghadiri seminar.
Penat, aku
membolak-balik jilidan tugas akhir yang tengah kuperjuangkan dengan susah
payah. Nasibku selama tiga tahun sebagai calon ahli madya sekretari sangat
ditentukan oleh lembaran-lembaran ini. Membuat tugas akhir tenyata tak semudah
mencontek saat ujian, apalagi untuk program studi yang tak banyak memiliki
bahan referensi seperti yang sedang kuambil saat ini.
Seperti biasa, jika
bosan telah merajai isi kepala maka twitter
adalah ladang pelampiasan paling ciamik. Disana aku membuang keluh, mengentas
peluh. Bertemu teman-teman maya, teman-teman baru dan teman-teman lama yang
pintar bermain acak kata konyol.
“Lebih baik jadi yang
kedua tapi selalu diutamakan daripada jadi yang pertama tapi selalu diduakan.”
–@tianddd
Baru saja membuka tab home
timeline dan aku menemukan si konyol Tian tengah berkicau disana. Ia adalah
teman baru yang kukenal dari sebuah akun bernama @aslisuroboyo. Karena kami follower setia akun tersebut dan sering
mendapat retweet dari sang admin, maka dunia pun memperkenalkan
kami. Tian mem-follow akunku dan
semakin sering mengajakku battle
kalimat sableng.
“Aku akan memakai
kostum kingkong bersama @buleg_darmi di #ArisanLux di depan @atiqahhasiholan |
@LUX_ID” –@tianddd
Selanjutnya aku tertawa
simpul menemukan tweet tersebut di tab mention. Rupanya Tian sedang
mengikuti kuis dari akun sebuah produk sabun wanita. Hahaha. Memang lucu.
Bagaimana seorang laki-laki normal masih saja terobsesi memenangkan sebuah kuis
padahal jelas saja akun tersebut sebagian besar followers-nya adalah kaum hawa. Aku membalasnya. Aku turut serta
dalam perayaan kuis itu, dan aku harus menjadi pemenang! Sedetik berpikir,
kemudian… Hap! Ide kutangkap.
“Aku akan menculik
@atiqahhasiholan di #ArisanLux untuk dijodohkan dengan jomblo lapuk @tianddd |
@LUX_ID”
Satu tweet kurang. Maka kutulis lagi dua.
Tiga. Hinga lima… Dan semuanya di retweet oleh si penyelenggara. Am I the winner?
***
Cito
Surabaya, 4 Desember 2011…
Akhirnya
aku memenangkan kuis itu. Tweet
gila-ku berhasil terpilih bersama 9 perempuan lain yang sudah hadir dengan
membawa pasangan masing-masing. Sebagian besar mereka membawa sahabat sesama
perempuan atau saudara kandungnya yang juga perempuan. Berbeda denganku yang
terlihat lucu dengan menggandeng Tian disana. Ya, aku mengajak Tian agar menjadi
pasanganku di hari nan bahagia itu.
“Yan,
temani aku ketemu Atiqah besok pagi di Cito. Bisa kan? Sekalian kita ketemuan,
kan aku belum pernah tahu wujud aslimu,” kataku di ujung telepon semalam.
“Kamu
lagi dimana ini? Kalo di Surabaya ngga ada kesibukan buat besok, ikut aku
yah…,” lanjutku seolah ingin meyakinkan dia agar menyetujui ajakanku dan tidak
memberinya ruang untuk menolak. Agak memaksa, memang. Aku ingin bertemu dia…
“Hai… Tian,” kata
seorang cowok mengampiriku. Nadanya santai dan terdengar sangat akrab di
telinga. Ia mengucapkan nama “Tian” sambil mengulurkan tangannya untukku. Aku
tersenyum kecil, dan kemudian tertawa terbahak. Entah demi apa aku tiba-tiba
tertawa seperti itu. Perpaduan antara bahagia,senang, dan… gugup! Ya, untuk
menutupi rasa gugup yang tiba-tiba datang menyelinap, aku tertawa agar mimik
wajah kembali netral.
Tian yang kubayangkan
dan sering kulihat di avatar twitter serta
display picture blackberry messenger memang terlihat sangat manis dan modis sebagai
seorang cowok. Gayanya sederhana namun jelas sekali dia menyimpan inner handsome yang sulit diungkapkan
dengan kalimat paling sederhana sekalipun. Semua tebakanku pada dirinya memang
benar. Dia cowok yang seru, asyik, namun tak serame di dunia maya, pada
nyatanya dia sedikit pendiam. Lucunya, kami memakai kemeja yang hampir bermotif
dan berwarna sama. Tanpa janjian, tanpa kesepakatan.
Hari itu berlalu dengan
sangat seru. Bertemu, berbincang, makan siang, dan nonton bareng film terbaru
Atiqah Hasiholan; Arisan 2. Banyak yang memuji kekompakan kami, kelucuan dan
kegaduhan yang kami buat selama acara berlangsung. Tak terkecuali sang artis
sendiri, si cantik Atiqah Hasiholan bintang Lux memuji kami sebagai pasangan
yang inspiratif dan menghibur. Begitu juga Eva Afriana, pembawa acara yang
dicomot dari salah satu radio anak muda yang tengah naik daun di Surabaya.
Lengkap sudah
bahagianya. Aku telah bertemu dengan Tian. Teman baru dari twitter yang selalu nampak asyik dan lucu. Dia sama denganku yang
juga penggila buku, terutama buku-buku motivasi seperti Merry Riana. Tian
adalah pengagum setia Merry dan juga karya Iwan Setyawan, 9 Summers 10 Autumns.
“Aku hanya seorang kenek
bus kota-kota,” begitu katanya dulu setiap aku mencoba mengenalnya lebih jauh,
ingin mengetahui seluk beluk pekerjaan dia.
“Hebat banget ada kenek
bus yang hobi koleksi gadget,” aku
terbahak. Mementahkan pengakuan konyol darinya.
“Yasudah kalau nggak
percaya. Aku memulai karirku dari bawah. Aku orang susah. Sempat jadi tukang
cuci piring juga,” begitu selalu yang dia ucapkan. Ditanya mengenai karir, dia
selalu menceritakan masa lalunya yang susah. Selalu saja dia ingin merendah.
Jika sudah begitu, Tian tak lupa memberikan wejangan untukku agar selalu
mensyukuri hidup.
“Aku lahir dalam
keluarga miskin, setiap manusia tidak bisa memilih dilahirkan ditengah keluarga
seperti apa. Namun saat ia beranjak besar, ia berhak memilih untuk memperbaiki
strata hidupnya, seperti aku. Karena aku ingin menghapus image yang terlanjur melekat untuk keluargaku ditengah masyarakat;
jika keluargaku adalah sampah! Kakak-kakakku sebagian besar hanya pengangguran
yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Bapakku hanya tukang kayu yang juga
berpenghasilan minim. Jadilah aku ini, anak bungsu yang ingin merubah nasibku
sendiri. Sejak SMA aku berjuang membayar biaya sekolahku dengan menjadi tukang
sapu sekolah. Ketika lulus, aku tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi. Aku memilih bekerja, dan sangat susah mencari yang layak. Aku
memulai semuanya dengan menjadi tukang cuci piring, namun bapakku selalu
mengajarikan kejujuran dan bekerja dengan tekun,” panjang lebar dia menerangkan
tentang hidupnya. Tian selalu semangat jika bercerita tentang bagian ini. Aku
menangkap getar-getar jiwa penuh pengorbanan sekalipun percakapan tersebut
hanya melalui telepon. Jika sudah begitu, aku hanya bisa diam menyimak sambil
tersenyum.
Tian Hamdi, dia adalah
sosok lelaki muda yang hebat. Di usia yang baru akan menginjak dua puluh empat
tahun, dia menjelma menjadi sosok yang kuat dan sangat hebat di mataku, di mata
semua wanita yang mengenalnya, di mata bapak, keluarga, dan para tetangga yang
dulu mencibir keluarganya, mungkin. Ia bukanlah seorang kenek bus antar kota
seperti cerita fiktifnya. Tentu ia hanya bercanda, sebab yang kutahu dari info
seorang teman bahwa Tian adalah manajer sebuah toko buku terkemuka di kota
Malang. Ia berdinas disana, sedang rumah orang tuanya ada di Surabaya. Ia memulai
karirnya dari nol hingga mendapat posisi layak seperti sekarang.
“Bersyukurlah kamu
mempunyai biaya untuk kuliah. Jadi belajar yang giat supaya masa depanmu lebih
baik,” kalimat itu yang selalu terngiang di kepalaku. Menjadi semangat dan
tekadku agar selalu melakukan yang terbaik demi mengejar mimpiku yang tak kalah
hebat dengannya.
***
Tidak ada berita yang
lebih menyenangkan daripada siang di penghujung bulan Januari itu saat kubaca tab mention dan tweet Tian bertengger disana.
“@buleg_darmi, aku
ditugaskan handle togamas gresik sebulan. Siapkan diri menyambutku ya.”
Aku tersenyum simpul.
Bayanganku hanya satu; dalam satu bulan kedepan akan ada si gokil yang
meramaikan kehidupanku di kota ini.
Dan
benar saja, ketika saat itu tiba, duniaku semakin berwarna dengan kehadiran
dia. Hampir setiap malam sepulang kerja Tian datang kerumahku. Biasanya sudah
kusiapkan oatmeal hangat untuk mengisi perutnya. Aku senang memandangi dia
disaat seperti itu; ketika ia lahap menikmati piringnya dengan sebentuk wajah
yang seakan tersenyum mengucap terimakasih melalui bibirnya yang tak henti
mengunyah perlahan.
***
“Yan, mau makan apa
siang ini?” tulisku melalui blackberry
messenger.
“Kenapa?” balasnya
beberapa menit kemudian.
“Jam berapa kamu
istirahat? Aku lagi masak makanan khas Gresik nih, otak-otak bandeng yang
dijamin ciamik soroh. Aku anterin ke Togamas ya, buat makan siang kamu.”
“Jam
satu ya, toko agak sepi. Makasi Ra sebelumnya, ngapain kamu repot-repot?”
“Its my pleasure, ngga repot sama sekali.”
“Its my pleasure, ngga repot sama sekali.”
Jadilah
siang itu aku membawa hasil masakanku untuk menu makan siang Tian. Entah
mengapa semakin hari aku lebih memperhatikan dia. Yang jelas aku hanya
merasakan sayang dan iba; disini dia hidup sendiri tanpa keluarga. Pasti pola
makannya tidak lagi terjaga.
“Kamu
jatuh cinta dengannya?” tanya ibuku saat aku mengeluarkan motor dan bersiap
menuju Togamas.
“Tidak
Bu, dia sahabat saya,” sahutku pelan. Aku sendiri meragukan jawaban itu.
Benarkah hanya sebatas itu?
Kemudian
aku melajukan motorku. Sepanjang jalan hanya tersenyum sambil sesekali menoleh
pada rantang berisi makan siang Tian. Hatiku penuh, gempita, ingin meledak.
Berbagai perasaan menggemuruh disana.
Aku memandang wajahnya
lekat. Sebentuk wajah sederhana, seulas senyum yang tak pernah berlebihan. Ia
lembut dan begitu berwibawa. Sangat menghargai bawahan dengan tindak-tanduknya
yang selalu dia jaga sedemikian rupa. Bagiku Tian adalah wujud lelaki idaman.
Nada bicaranya tak pernah meninggi, namun tak pula merendah.
“Enak
sekali masakan kamu Ra, gimana kalau aku ketagihan?” pujinya disela-sela
mengunyah ‘otak-otak cinta’ buatanku. Aku tersipu malu. Susah payah menetralkan
mimik wajah yang mulai bersemu. Membuyarkan pikiranku tentang dia.
“Lain
kali aku masakin kalo kamu memang suka, Yan…,” aku menyunggingkan senyum
untuknya. Senyum penuh pengharapan agar ia menangkap binar kecil di mata
sipitku.
“Sejak
kapan kamu mulai suka membaca dan menulis Ra?” dia berusaha menciptakan topik
sambil menghabiskan sisa-sisa makanan. Saat itu kami tengah duduk berdua di
bale-bale depan toko.
“Usia
sembilan tahun aku sudah mulai nuis diary.
Kalo membaca, aku minim buku bacaan dirumah. Jadi agak jarang…”
“Aku
sudah membaca novelmu dan aku kagum dengan isinya. Suatu saat aku yakin kamu
akan menjadi penulis hebat,” pujinya dan kemudian terbahak… Mukaku semakin
bersemu merah dipuji demikian.
“Tapi
sayangnya namaku tak pernah terdengar di kota ini Yan. Banyak yang mengira
asalku dari Surabaya,” sahutku.
“Ya,
disini minat baca masyarakat kurang. Jadi mereka juga tidak pernah mengetahui
jika salah satu putri daerahnya berhasil menjadi salah satu penulis nasional
dan bukunya beredar hingga Malaysia. Coba kamu perhatikan toko ini, sekarang
saja agak lumayan. Kalau dulu, pasti lebih sepi daripada ini… Minat baca
masyarakat sangat kurang padahal daya belinya tinggi.”
“Alhamdulillah Togamas Gresik mulai rame
semenjak manajer ganteng yang pegang, kamu memang hebat Yan. Dedikasimu sangat
besar untuk kemajuan minat baca masyarakat kotaku dengan program-program yang
kamu andalkan itu…,” kali ini aku tak mau kalah ambil bagian. Membalas
pujiannya. Dan kulihat ia tersenyum, sangat manis… maniiis sekali.
“Kamu
ada usul untuk program lainnya? Yang bisa lebih mengenalkan buku pada
masyarakat luas?” sambungnya dengan masih tersenyum.
“Bagaimana
jika kita adakan lomba fotografi berjudul “Aku Dan Buku”, dengan setting
pengambilan gambar di dalam toko. Ini juga sekalian meningkatkan omset toko.
Hahahahaa…,” kami terbahak. Menikmati siang yang berarak menuju sore. Seperti
secangkir kopi hangat yang memberi keharuman dalam hati kami berdua.
“Kamu
suka Mira W, Ra? Di toko ada tuh, ambil saja…,” ia membimbingku menuju dalam
toko dan memberikan novel itu padaku; sebuah novel karya Mira W; “Sampai Maut
Memisahkan Kita…”
***
18 Februari 2012, 00.16 WIB
From: pramita.rajna@gmail.com
Dear Tian,
From the deepest of my heart, I'd say thanks for our friendship. Now, 12 pm and ur bday comes. Even though I'm not the first to say happy bday for u, but I send to u my best wishes for ur happiness. Getting older, u get better for life and easier in every challenge. May our friendship will be everlasting. Amin yr.
--
Warmest Regards,
Ra
From the deepest of my heart, I'd say thanks for our friendship. Now, 12 pm and ur bday comes. Even though I'm not the first to say happy bday for u, but I send to u my best wishes for ur happiness. Getting older, u get better for life and easier in every challenge. May our friendship will be everlasting. Amin yr.
--
Warmest Regards,
Ra
***
Café
Delodji, 18 Februari 2012, 13.00 WIB
“Selamat ulang tahun, Yan…
Semoga panjang umur. Ini kado buatmu. Semoga kamu suka,” aku mengangsurkan kado
berbungkus kertas biru muda ke tangannya. Ia tersenyum seperti biasa. Selalu
saja senyum itu yang jadi senjata pamungkas untuk memikat hati siapa saja yang
melihatnya.
“Apa ini?”
“Buka saja nanti kalau
aku sudah pergi.”
Dia mengenggam
tanganku, aku membalasnya dengan kikuk. Andai dia tahu bagaimana aku menyiapkan
kado spesial itu untuknya; sebuah lagu yang berisi ungkapan hatiku. Tentang
rasa yang terpendam dalam hati dan mengganggu tidurku. Belum pernah aku
menciptakan lagu untuk seorang lelaki dan berusaha menyanyikannya, merekamnya,
dengan iringan gitar Kenny, sahabatku. Kenny juga yang membantuku sebagai music arranger.
“Malam ini tidur dengan
ditemani lagu ciptaan @buleg_darmi, suaranya empuk buat kaum jomblo yang miskin
kasih sayang.” –@tianddd
Tulisnya di twitter saat menjelang tidur. Aku
tersanjung. Kantuk yang mendera membuatku tak sanggup lagi membalas tweet itu.
***
3
Maret 2012
Tian Sakit! Entah
bagaimana ceritanya. Siang itu langsung kujemput dia ke toko, dan kuantar
menuju RS terdekat. Menurut dokter ia hanya kelelahan dengan sedikit gangguan pencernaan.
Badannya panas dan dia merasakan sakit melilit di sekitar lambung. Sudah pasti
ini maag. Tapi akut, mungkin. Aku tak sampai hati melihatnya kesakitan.
“Jangan bekerja dulu
hari ini. Liburlah sehari untuk beristirahat penuh,” aku menasehatinya sambil
melangkah menuju pintu keluar RS Petrokimia Gresik.
“Tapi… Toko sedang rame
Ra, apalagi Sabtu begini,” kilahnya.
“Turuti aku kali ini
saja, demi kebaikanmu. Aku mau kamu sembuh. Ya?” aku menggandeng tangannya,
kubimbing dia agar minggir kearah kiri untuk menuju apotek dan menukarkan resep
dengan obat.
Sesampai kami di
rumahku, kupersilahkan Tian beristirahat di ruang tamu. Kali ini aku ingin
merawatnya. Memberikan yang terbaik untuknya. Aku tak sanggup membayangkan
bagaimana dia harus menahan sakit dan mengurus dirinya sendiri di kamar kost
yang sempit.
“Minumlah ini Yan,
mungkin bisa sedikit memulihkan tenagamu,” aku menyodorkan segelas susu sapi
murni dan segelas lagi berisi susu kedelai campur gingseng. “Setelah itu kamu
makan dan minum obatnya ya,” aku kembali ke dapur untuk mengambil sesuatu yang
tertinggal; sepiring nasi dengan sayur bayam serta tiga potong ‘otak-otak
cinta’ kegemaran dia. Aku melihat Tian tersenyum. Dan hanya itu saja sudah
mampu menggetarkan hatiku. Ya, dengan senyumannya… Mungkin aku sudah jatuh
cinta.
Malam menjelang,
kurasakan suhu badan Tian belum reda. Malah semakin memanas. Aku menahan
tangis, antara kuatir dan takut kalau-kalau Tian semakin parah. Dia tengah
tertidur lelap di ruang tamuku, dengan lampu yang tak kunyalakan agar tidurnya
tak terganggu. Dalam temaram, aku memandangi wajahnya, rambutnya, alisnya,
hidungnya, bibirnya… Sebentuk wajah yang menanggung beban berat di usia yang
masih sangat belia. Ia lahir ditengah keluarga miskin. Ibunya wafat ketika ia
berusia enam tahun, sedang bapaknya menyusul empat bulan yang lalu.
Aku mendekat, kuraba
pipinya, keningnya, lehernya. Masih panas. Aku sangat takut… Entah perasaan apa
yang kupendam kala itu. Kuambil selimut lalu kulingkupkan di sekujur tubuhnya.
“Tidur yang nyenyak,
Sayang. Aku menjagamu disini…,” ucapku dalam hati. Setetes embun menitik dari
mataku jatuh tepat di dada kirinya.
Namun hingga tengah
malam kutunggu, kondisi tubuhnya semakin lemah. Kini Tian merasakan sesak pada
dadanya. Aku menangis khawatir. Entah mengapa aku jadi teramat sensitif malam
itu. Seolah aku tak ingin Tian merasakan kesakitan sedikit saja.
“Aku nggak pa-pa Ra,
jangan khawatir begitu,” ucap Tian diantara nafasnya yang satu-satu dan
kemudian terbatuk hebat. Aku mendekap tubuhnya. Tak kupedulikan apakah tabu
atau memalukan jika aku berbuat demikian padanya.
“Yan, kita ke UGD malam
ini. Pokoknya aku nggak mau tahu. Kita berangkat sekarang Yan…,” tangisku.
Ibuku datang dari
dalam, menyaksikan kami berdua yang sedang bersitegang.
“Iya Yan, ayolah ke
UGD. Takut kamu semakin parah, Nak…,” Ibuku menimpali. Tian diam saja. Entah
apa yang ia pikirkan. Kalau sekedar biaya, aku yakin itu bukan soal baginya.
Sebab dia sudah pasti membekali dirinya dengan asuransi kesehatan.
Tengah malam itu, hampir
pukul dua belas aku membonceng Tian menuju RS Petrokimia Gresik. Aku tak peduli
dinginnya malam menggigit tulang, yang kupikir hanya bagaimana caranya
menyelamatkan Tianku, Tian yang aku sayangi saat itu.
RS
Petrokimia Gresik, 4 Maret 2012 01:14
“Kamu
belum tidur Ra?” Tian menoleh kearahku yang duduk disebelahnya sambil membaca
Mira W. yang ia beri beberapa hari lalu. Aku meletakkan novel yang sedang
kubaca, kemudian memandangi wajahnya dengan seksama.
“Kamu
tidurlah, aku yang jaga. Kita gantian saja yaa… Disini kita bawa banyak gadget kamu. iPhone, Galaxy note, laptop,
blackberry, iPad, semua kamu bawa disini. Nggak lucu kalau kita kemalingan,
kan?” gurauku menciptakan sebuah alasan.
“Tapi
nanti kamu capek Ra, kasian kamu.”
“Kamu
lebih kasihan, karena kamu yang sakit. Sudah ayo tidur jangan bawel. Kamu ini
kenapa bawel banget Yan,” aku pura-pura ngambek. Tiba-tiba Tian meringis kecil
sambil memegangi perutnya.
“Kenapa
Yan?” ketakutan kembali menerpaku.
“Sakit
dikit,” jawab Tian sambil masih memegangi perutnya.
“Minum
obat, terus tidur.”
“Tapi,
ngga ada air disini. Gimana?”
Mati.
Saking terburu-burunya ke UGD tadi, aku tidak sempat pergi belanja ke swalayan
membeli air mineral. Celakanya lagi, dompetku pun ikut tertinggal. Tak
kehilangan akal, aku pergi keluar. Mencari air mineral sampai dapat. Demi Tian
agar dapat menelan obatnya. Ya, demi Tian.
Aku
mengetuk ruangan perawat jaga tengah malam buta.
“Suster,
boleh saya meminta air? Sedikit saja suster,” pintaku. Dengan wajah galau.
Sedikit penat. Mengantuk pula.
“Hemmm
kantin tutup pukul segini Mbak. Punya botol bekas? Ambil saja disini…,” jawab
perawat bertubuh kurus itu.
“Ngga
punya Suster. Trus gimana?” sahutku lesu. “Yasudah, terimakasih.” Aku berlalu
meninggalkan ruangan perawat itu. Nihil. Aku kembali ke kamar inap Tian dengan
muka serba salah.
“Gimana
Ra? Dapat airnya?” tanya Tian penuh harap.
“Maaf
Yan, ngga ada. Kalo aku keluar, yang jaga kamu siapa? Kamu sabar sampai besok
pagi ya Yan, maafkan aku,” aku sudah hampir putus asa ketika pintu kamar
diketuk seseorang.
“Mbak,
tadi waktu check in belum dapat air
mineral botolan ya?” tanya suster yang kudatangi tadi.
“Belum.”
“Ini
Mbak…,” suster itu memberikan sebotol air mineral yang kuanggap sebagai air
suci yang turun dari langit. Baru kali ini aku menganggap sebotol air mineral
bermakna lebih dari sekedar nyawaku sendiri.
Setelah
pintu tertutup kembali, kubimbing Tian meminum obat-obatnya. Sungguh aku tak
sampai hati melihatnya dalam kondisi demikian; seorang Tian yang banyak dipuja
kaum hawa di jejaring sosial yang melambungkan namanya di jagat Surabaya
bernama, malam ini dia menghabiskan malam denganku; gadis biasa yang tak pernah
terlihat mewah di mata lelaki.
Dalam gelap, aku
melihatnya tertidur dengan sangat tenang. Kubelai keningnya perlahan, kupijit
tangannya pelan-pelan. Adakah hal yang sanggup menerjemahkan perlakuanku ini,
kecuali sebuah getar cinta yang mulai kurasakan? Sebuah debar halus nan hangat
pada sahabatku sendiri, lelaki yang kuanggap seperti saudara dan kini entah
mengapa kutangisi dia seperti seorang kekasih hatiku.
Aku menangis malam itu.
Masih membelai keningnya. Menggenggam tangannya. Aku benar-benar mencintai
sahabatku sendiri. Ya, perasaan itu benar-benar jelas kurasa. Diam-diam
menyelinap dalam temaram ruang kamar kami berdua, mencuri hatiku yang rapuh
karena pengkhianatan seorang pria terdahulu.
Tian membuka matanya…
“Kamu menangis, Ra?
Kenapa?” tanya dia dengan suara pelan. Matanya mengerjap menahan kantuk. Dan
aku sungguh tak ingin menyembunyikan airmataku. Biarlah Tian melihatnya,
menemukannya.
“Tidurlah. Aku hanya
kasihan melihatmu begini. Sudah kurus, sakit-sakitan,” gurauku. Aku berdusta.
Batal mengungkapkan maksud hatiku yang sebenarnya. Padahal, apakah mungkin
sekarang akan menjadi waktu yang tepat untuk membicarakan cinta? Entahlah. Aku
tak pernah berpikir kesenanganku sendiri. Yang penting dia lekas sembuh.
***
Beberapa
bulan setelah itu, hubunganku dan Tian merenggang. Kami semakin jauh. Tian
kembali ke Malang, masa tugasnya di Gresik telah berakhir. Dan karena
kesibukannya, dia tak sempat berpamitan langsung ke rumahku, pada orang tuaku.
Aku memakluminya sebab aku paham betul bagaimana kesibukannya sebagai manajer
dan juga asisten pribadi pimpinan Togamas Malang. Tian hanya sempat menelpon
ibuku sebentar, namun kupahami getar kedekatan antara mereka berdua. Ya,
akankah ibu dan Tian kelak akan benar-benar menjadi sepasang mertua dan
menantu?
Hingga
suatu ketika, di hari kedua Idul Fitri. Tian jatuh sakit lagi. Ia harus opname
lagi. Aku kira sakit perutnya kembali kambuh. Aku hanya mengirimkan pesan
singkat di blackberry messenger.
“Gimana kondisimu Yan? Minal aidzin wal faidzin, selamat
lebaran buat kamu sekeluarga. Mohon maaf belum sempat menjenguk,” tulisku.
“Aku juga mohon maaf,
sampaikan kangenku ke ibu dan adik. Nanti kalo sembuh aku ke Gresik ya,”
balasnya.
“Kita 0-0 berarti?”
“Bukan, 1-0. Aku 1 dan
kamu 0, alias bulet,” dasar Tian gila yang masih bisa bercanda walaupun sedang
sakit begini.
Dua
minggu berselang, dan Tian belum juga keluar dari Rumah Sakit. Sementara
kesibukanku yang saat itu baru saja diterima sebagai Sekretaris di salah satu
BUMN sedang padat-padatnya.
“@tianddd mohon maaf
aku belum bisa jenguk. U know me, still busy. Miss u much.” –tulisku
di akun twitter milikku.
“Meskipun kita jauh,
hati kita selalu dekat. Aku kangen kamu Ra, kapan kita bisa bertemu?” ia
membalas melalui blackberry messenger.
Dua kalimatnya menggetarkan hatiku. Apakah ini jawaban dia atas segala
perasaanku yang belum sempat terucap? Yah, persis seperti lagu yang kubuat
untuknya sebagai kado ulang tahun Tian ke-24. Bahwa aku mengaguminya, aku
sering merindukannya, dan aku tak pernah berani mengungkapkan perasaan itu.
***
Jika ada sesal yang
paling memberati hatiku, sepanjang hidupku, mungkin adalah ketakutanku
mengungkapkan isi hati pada seorang Tian. Hingga hari itu, 9 September 2012 ia
berpulang pada Tuhannya karena pneumonia
yang menggerogoti paru-parunya. Tian bukan seorang perokok, namun dia sering
berdekatan dengan perokok aktif. Bodohnya, aku tak pernah tahu penyakit
tersebut. Aku telat mendengar berita buruk lelaki yang sangat kucinta. Kemana
saja aku selama ini? Kesibukan kantor telah memisahkan ikatan batinku
dengannya; Tian, lelaki yang kukenal lewat twitter,
cyber love story kami bermula disana.
“Hey
kamu yang manis, kamu yang mempesona, tahukah kamu aku mengagumi dirimu…,”
laguku berdengung-dengung mengiringi pemakaman Tian. Mataku tak henti
mengeluarkan tangis, isak berjejalan di kerongkongan. Tak ada satu hal pun yang
dapat merubah kenyataan. Cintaku telah berpulang untuk kembali pada
penciptanya. Ia hadir diam-diam, berlalu juga dengan diam dan tak pernah
memberi tanda.
Aku memandang sekali
lagi gundukan tanah yang masih basah dan ditaburi banyak bunga. Rasanya berat
kaki melangkah pergi meninggalkan rumah peristirahatan terakhir orang yang
begitu kucinta. Berat melepasnya tidur sendiri, menanggung gelap dan kesepian
hingga kehidupan berakhir nanti. Aku membelai nisannya sekali lagi, ingin
menangis lagi namun aku sadar bukanlah tindakan bijak meratapinya seperti ini. Selamat
jalan, Cinta. Mungkin lebih baik kupendam rasa ini sendiri, tanpa banyak orang
mengetahui, dan bahkan kamu sendiri…
Laguku
masih berdengung, ingatanku kembali pada setahun yang lalu. Saat pertama kali membaca
tweet konyolnya, saling follow, bertukar pin blackberry, bertukar nomor hape.
Ingatanku melayang mengitari Cito, Togamas Gresik, Café Delodji, RS Petrokimia
Gresik, ruang tamu rumahku… Semua memori berjejalan, berlomba menghukum aku
yang tak paham rindunya. Tak mengabulkan keinginannya untuk bertemu denganku
menjelang kematiannya.
Kukecup nisan Tian dan
aku berlalu tanpa menengok lagi. Aku tak ingin dia melihat airmataku yang
semakin deras. Sebab kuyakin dia masih berdiri disana, mengawasiku dalam rinai
kamboja berguguran…
Terkadang
ada rindu yang tak mungkin menjumpai ujung. Terkadang ada rindu yang hanya bisa
tersampai melalui doa. Ya, ketika orang tercinta sudah menemui Tuhannya untuk
mereguk cinta yang sebenarnya.
*********
*demi kenyamanan nama tokoh dan setting
tempat disamarkan
0 komentar: