Self Publishing: Bukan si Anak Haram
Sering saya mendengar, penulis yang menerbitkan bukunya secara indie (self publishing) adalah penulis yang gagal. Paling tidak, mereka gagal menembus penerbit konvensional, dan oleh karenanya, menerbitkan buku secara mandiri merupakan jalan paling rasional yang bisa mereka tempuh.
Pernyataan itu mudah untuk
dimengerti. Apalagi ketika mengingat, menerbitkan buku secara self
publishing tidak melalui tahapan yang berbelit dan seleksi ketat dari
redaksi. Inilah yang kemudian menjadi kritik paling tajam bagi buku-buku self
publishing: rendahnya kualitas tulisan atau buku yang diterbitkan. Buku
yang ‘asal terbit’, dan bukan yang ‘layak terbit’. Kritik ini masih ditambah
dengan adanya cibiran dari sebagian orang, yang memandang buku-buku self
publishing hanya dengan sebelah mata.
Sakit hati? Boleh saja, dan
lagi pula, perasaan itu wajar adanya. Akan tetapi jika ini sampai merusak
cita-citamu untuk menjadi penulis besar, buat saya, itu adalah sikap bodoh yang
sempurna.
Siapa pun penulis yang
menempuh jalur indie, tidak perlu berkecil hati terhadap kritik
seperti ini. Setidaknya, kita sudah berhasil menerbitkan buku. Sudah
sepantasnya kita bangga dengan capaian itu. Kita sudah mematahkan mitos bahwa
menerbitkan buku hanya untuk mereka yang sudah memiliki nama besar dalam dunia
tulis menulis. Siapa pun kita adanya, terbukti bisa menjadi penulis buku, dan
sudah membuktikannya. Segala macam kritik tadi, anggap saja sebagai isyarat dan
penyemangat, bahwa kita memang harus berusaha lebih keras untuk meningkatkan
kualitas tulisan kita.
Lagi pula, semua anggapan
di atas tidak sepenuhnya benar. Satu hal yang pasti, bagus dan tidaknya sebuah
buku sangat relatif. Apa yang menurut Anda bagus, belum tentu menurut saya.
Begitu pun sebaliknya. Semua tergantung dari sisi mana kita memandang. Hanya,
memang, dari semua sudut pandang itu selalu ada titik temu. Sebuah buku dikatakan
bagus jika memberikan manfaat kepada pembacanya. Buku yang mencerahkan,
menginspirasi, membuat kita berlari lebih kencang untuk menjemput prestasi.
Sangat tidak adil menilai
kualitas sebuah buku, hanya karena ia diterbitkan tanpa seleksi yang ketat, apalagi
hanya karena tidak melalui polesan tangan dingin sang Editor. Bahkan, selebaran
yang dicetak dengan fotokopi dan dibagikan secara gratis sekalipun, jika dia
bermanfaat bagi pembacanya, tentu kita tidak akan segan mengatakannya sebagai
tulisan yang bermutu.
Jika memang demikian,
alih-alih berkecil hati, justru semestinya kita berbahagia. Sebab dengan self
publishing, kesempatan untuk menerbitkan buku terbuka lebar-lebar. Tidak
perlu ragu, betapapun, buku-buku self publishing tetaplah
menjadi buah karya yang layak untuk dibanggakan. Dia bukan ‘si anak haram’,
yang lahir dari cinta terlarang.
Sebuah buku–dengan cara apa
pun ia diterbitkan–yang kita tulis dengan sepenuh cinta dalam setiap
kalimatnya, merupakan jejak nyata keberadaan kita. Sudah sewajarnya jika
kemudian kita dengan bangga memperkenalkan kepada masyarakat atas buku yang
kita tulis itu. Sekali lagi, itu bukan aib yang mesti kita sembunyikan.
Maraknya self
publishing akhir-akhir ini menjadi fenomena yang menggembirakan.
Pernyataan ini diamini banyak kalangan. Buat saya, tumbuhnya minat ber-self
publishing bukan saja sekedar menggembirakan, tetapi juga sebuah
keniscayaan. Banyaknya pelatihan dan motivasi menulis, baik offline maupun online,
telah berkontribusi banyak melahirkan para penulis muda berbakat. Tentu saja,
mereka membutuhkan media untuk menyalurkan hasil karyanya. Dan karena penerbit
konvensional tidak bisa sepenuhnya menampung hasil karya mereka–dengan berbagai
pertimbangan–jalur self publishing merupakan jalan bebas
hambatan yang sungguh menggembirakan.
Jalur self
publishing memang sudah lama ada. Akan tetapi, baru belakangan ini
mulai menjadi tren di kalangan penulis muda Indonesia. Sebagai sesuatu yang
baru tumbuh dan terus membesar, wajar jika kemudian self publishing mendapat
banyak sekali sorotan. Sebagian besar optimis, namun juga, tidak sedikit yang
pesimis. Bahkan ada yang berpendapat, negeri ini akan kebanjiran buku-buku
tidak bermutu akibat dibukanya kran self publishing lebar-lebar.
Saya tidak tahu, apakah ini
bentuk kepanikan penerbit konvensional, di tengah pasar buku yang selalu
dikeluhkan lesu? Terlalu dini untuk menilai, apalagi, baru akhir-akhir ini saja self
publishing menjadi primadona. Dan lagi pula, saya tidak memiliki data
yang cukup untuk mengkonfirmasi hal itu.
Lepas dari semua perdebatan
itu, self publishing memberikan banyak kemudahan bagi setiap
orang untuk menerbitkan buku. Pada saat bersamaan, juga akan mengakhiri
monopoli penerbit konvensional atas karya mana yang akan diterbitkan, dana mana
yang tidak diterbitkan. Self publishing mendobrak tradisi itu,
dan biarkanlah masyarakat yang akan menilai.
“Kita menulis untuk
mendapatkan uang, tetapi kok diminta untuk menyerahkan uang,”
kalimat-kalimat seperti ini akan terus terdengar di sepanjang jalur indie.
Tidak mengapa, namanya juga self
publishing. Dan lagi pula, bukankah menulis tidak selalu untuk mendapatkan
uang?
Akan tetapi, di sinilah
justru seninya self publishing. Karena kita tahu harus membiayai sendiri proses penerbitan
buku tersebut, maka kita akan lebih teliti dan berhati-hati. Dengan sendirinya,
kita ‘dipaksa’ untuk juga berpikir, apakah buku yang kita terbitkan nanti
berkualitas dan diminati pembaca? Sebab jika tidak, kita sendiri yang akan
menanggung resikonya. Jangankan untuk mentraktir teman sebagai rasa syukur atas
jerih payah kita, sekedar mengganti ongkos penerbitan pun tidak menutupi.
Setiap bidang dalam
kehidupan ini, akan selalu ada yang muncul sebagai bintang. Karena itu, saya
memiliki keyakinan, jika pada saatnya nanti–cepat atau lambat–akan ada penulis
besar dari jalur self publishing. Konon katanya, di Amerika sana, self
publishing menjadi primadona para penulis ternama. Saya kok merasa,
kini tiba saatnya untuk Indonesia.
great bgt! semoga self publisher makin jaya :)
BalasHapus