Kamis, 23 Februari 2012

Self Publishing: Bukan si Anak Haram





Sering saya mendengar, penulis yang menerbitkan bukunya secara indie (self publishing) adalah penulis yang gagal. Paling tidak, mereka gagal menembus penerbit konvensional, dan oleh karenanya, menerbitkan buku secara mandiri merupakan jalan paling rasional yang bisa mereka tempuh.

Pernyataan itu mudah untuk dimengerti. Apalagi ketika mengingat, menerbitkan buku secara self publishing tidak melalui tahapan yang berbelit dan seleksi ketat dari redaksi. Inilah yang kemudian menjadi kritik paling tajam bagi buku-buku self publishing: rendahnya kualitas tulisan atau buku yang diterbitkan. Buku yang ‘asal terbit’, dan bukan yang ‘layak terbit’. Kritik ini masih ditambah dengan adanya cibiran dari sebagian orang, yang memandang buku-buku self publishing hanya dengan sebelah mata.


Sakit hati? Boleh saja, dan lagi pula, perasaan itu wajar adanya. Akan tetapi jika ini sampai merusak cita-citamu untuk menjadi penulis besar, buat saya, itu adalah sikap bodoh yang sempurna.

Siapa pun penulis yang menempuh jalur indie, tidak perlu berkecil hati terhadap kritik seperti ini. Setidaknya, kita sudah berhasil menerbitkan buku. Sudah sepantasnya kita bangga dengan capaian itu. Kita sudah mematahkan mitos bahwa menerbitkan buku hanya untuk mereka yang sudah memiliki nama besar dalam dunia tulis menulis. Siapa pun kita adanya, terbukti bisa menjadi penulis buku, dan sudah membuktikannya. Segala macam kritik tadi, anggap saja sebagai isyarat dan penyemangat, bahwa kita memang harus berusaha lebih keras untuk meningkatkan kualitas tulisan kita.

Lagi pula, semua anggapan di atas tidak sepenuhnya benar. Satu hal yang pasti, bagus dan tidaknya sebuah buku sangat relatif. Apa yang menurut Anda bagus, belum tentu menurut saya. Begitu pun sebaliknya. Semua tergantung dari sisi mana kita memandang. Hanya, memang, dari semua sudut pandang itu selalu ada titik temu. Sebuah buku dikatakan bagus jika memberikan manfaat kepada pembacanya. Buku yang mencerahkan, menginspirasi, membuat kita berlari lebih kencang untuk menjemput prestasi.

Sangat tidak adil menilai kualitas sebuah buku, hanya karena ia diterbitkan tanpa seleksi yang ketat, apalagi hanya karena tidak melalui polesan tangan dingin sang Editor. Bahkan, selebaran yang dicetak dengan fotokopi dan dibagikan secara gratis sekalipun, jika dia bermanfaat bagi pembacanya, tentu kita tidak akan segan mengatakannya sebagai tulisan yang bermutu.

Jika memang demikian, alih-alih berkecil hati, justru semestinya kita berbahagia. Sebab dengan self publishing, kesempatan untuk menerbitkan buku terbuka lebar-lebar. Tidak perlu ragu, betapapun, buku-buku self publishing tetaplah menjadi buah karya yang layak untuk dibanggakan. Dia bukan ‘si anak haram’, yang lahir dari cinta terlarang.

Sebuah buku–dengan cara apa pun ia diterbitkan–yang kita tulis dengan sepenuh cinta dalam setiap kalimatnya, merupakan jejak nyata keberadaan kita. Sudah sewajarnya jika kemudian kita dengan bangga memperkenalkan kepada masyarakat atas buku yang kita tulis itu. Sekali lagi, itu bukan aib yang mesti kita sembunyikan.

Maraknya self publishing akhir-akhir ini menjadi fenomena yang menggembirakan. Pernyataan ini diamini banyak kalangan. Buat saya, tumbuhnya minat ber-self publishing bukan saja sekedar menggembirakan, tetapi juga sebuah keniscayaan. Banyaknya pelatihan dan motivasi menulis, baik offline maupun online, telah berkontribusi banyak melahirkan para penulis muda berbakat. Tentu saja, mereka membutuhkan media untuk menyalurkan hasil karyanya. Dan karena penerbit konvensional tidak bisa sepenuhnya menampung hasil karya mereka–dengan berbagai pertimbangan–jalur self publishing merupakan jalan bebas hambatan yang sungguh menggembirakan.

Jalur self publishing memang sudah lama ada. Akan tetapi, baru belakangan ini mulai menjadi tren di kalangan penulis muda Indonesia. Sebagai sesuatu yang baru tumbuh dan terus membesar, wajar jika kemudian self publishing mendapat banyak sekali sorotan. Sebagian besar optimis, namun juga, tidak sedikit yang pesimis. Bahkan ada yang berpendapat, negeri ini akan kebanjiran buku-buku tidak bermutu akibat dibukanya kran self publishing lebar-lebar.

Saya tidak tahu, apakah ini bentuk kepanikan penerbit konvensional, di tengah pasar buku yang selalu dikeluhkan lesu? Terlalu dini untuk menilai, apalagi, baru akhir-akhir ini saja self publishing menjadi primadona. Dan lagi pula, saya tidak memiliki data yang cukup untuk mengkonfirmasi hal itu.

Lepas dari semua perdebatan itu, self publishing memberikan banyak kemudahan bagi setiap orang untuk menerbitkan buku. Pada saat bersamaan, juga akan mengakhiri monopoli penerbit konvensional atas karya mana yang akan diterbitkan, dana mana yang tidak diterbitkan. Self publishing mendobrak tradisi itu, dan biarkanlah masyarakat yang akan menilai.

“Kita menulis untuk mendapatkan uang, tetapi kok diminta untuk menyerahkan uang,” kalimat-kalimat seperti ini akan terus terdengar di sepanjang jalur indie.

Tidak mengapa, namanya juga self publishing. Dan lagi pula, bukankah menulis tidak selalu untuk mendapatkan uang?

Akan tetapi, di sinilah justru seninya self publishing. Karena kita tahu harus membiayai sendiri proses penerbitan buku tersebut, maka kita akan lebih teliti dan berhati-hati. Dengan sendirinya, kita ‘dipaksa’ untuk juga berpikir, apakah buku yang kita terbitkan nanti berkualitas dan diminati pembaca? Sebab jika tidak, kita sendiri yang akan menanggung resikonya. Jangankan untuk mentraktir teman sebagai rasa syukur atas jerih payah kita, sekedar mengganti ongkos penerbitan pun tidak menutupi.

Setiap bidang dalam kehidupan ini, akan selalu ada yang muncul sebagai bintang. Karena itu, saya memiliki keyakinan, jika pada saatnya nanti–cepat atau lambat–akan ada penulis besar dari jalur self publishing. Konon katanya, di Amerika sana, self publishing menjadi primadona para penulis ternama. Saya kok merasa, kini tiba saatnya untuk Indonesia.

1 komentar: