Kamis, 23 Februari 2012

Mengatasi ‘Kutukan’ Buku Indie!




Naskah ditolak penerbit? Wah, ini ‘kutukan’. Hussy, hiperbolis! Hehe... Sudah berusaha semaksimal mungkin, eeh… ujung-ujungnya visi penerbit kadang tidak selalu sejalan dengan penulis. Sebenarnya naskah saya telah selesai tahun 2008 yang lalu. Tetapi saya bingung, apakah akan dikirim ke penerbit biasa (regular) atau mencoba sesuatu yang baru yaitu diterbitkan secara self publishing (indie).

“Apa?!? Self Publishing? Buku Indie? Apa tuh?”

“Itu loh, buku yang diterbitkan secara independen/pribadi”

Sambil berpikir, saya pun mencari-cari informasi tentang self publishing di internet. Ternyata keren juga ya, punya penerbitan sendiri. Bisa ‘semau’ kita dengan naskah yang kita miliki tanpa ada ‘intervensi’ dari pihak lain. Saya bisa menuliskan nama penerbitan yang saya inginkan. Saya akan mencantumkan ‘iklan promosi’ taman bacaan gratis (sebuah lembaga sosial kemasyarakatan yang bersifat nirlaba) yang saya kelola dalam buku tersebut, Asiik…

Tetapi menerbitkan buku melalui jalur indie ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Semua proses harus dilakukan sendiri, mulai dari editing, layout isi, sampai bikin kover. Kalau ingin buku kita diakui secara internasional, kita bisa meminta nomor ISBN (kalau gak salah sekarang gratis) ke perpustakaan nasional. Tapi sepertinya cukup repot juga karena ada sejumlah persyaratan tertentu yang harus dilengkapi.

“So, gimana dong?”

“Tenang, ada Jasa Penerbitan, kok!”

Mereka mau menerbitkan naskah buku kita secara utuh tetapi harus dengan syarat minimal cetak 200 eksemplar buku. Jika dihitung-hitung bisa menghabiskan dana sedikitnya Rp. 5.000.0000.

“Aduh, saya gak punya uang sebanyak itu,” batin saya.

Ditambah lagi, bagaimana jaringan pemasaran buku saya nanti? Kalau saya bergerak sendiri (sekaligus menjadi distributor), apa saya bisa? Memang sih, kita bisa bekerja sama dengan jaringan distributor yang alamatnya sudah saya ketahui. Tetapi, biasanya distributor seperti itu meminta minimal 1000 buku. Wuuahh, untuk 200 buku aja saya belum mampu, bagaimana dengan 1000 buku. Selain masalah buku yang menumpuk di ‘gudang’, saya belum tahu seluk beluk dunia agen distrubusi semacam ini. Bagaimana mengatasi buku yang tidak terjual nanti? Tentu bukan perkara mudah. Wah, wah. Bisa-bisa ini jadi ‘kutukan’ juga bagi dunia penerbitan buku indie. Intinya, saya belum siap secara mental, terlebih lagi finansial.

Lalu, suatu hari, saya menemukan sebuah jasa pelayanan penerbitan yang hanya mensyaratkan menerbitkan buku minimal 40 buah saja.

“Wah, boleh juga nih.” Batin saya berceloteh lagi.

Tetapi, setelah dikalkulasi, dana yang dikeluarkan ternyata tidak sedikit. Untuk biaya bikin kover, biaya editing, biaya layout dan biaya pengurusan ISBN minimal Rp. 700.000,-. Belum termasuk biaya cetak buku. Kalau rata-rata satu buku membutuhkan biaya cetak produksi Rp. 25.000-, berarti saya harus membayar Rp. 1.000.000,-. Wuah, masih lebih hemat jika menerbitkan 200 buku dong? Ya, iyalah. Dan akhirnya, rencana saya untuk menerbitkan buku secara indie pun terbengkalai sudah.

Tahun 2009 saya membuka akun di facebook. Gara-gara facebook, saya bisa berkenalan dengan penulis-penulis hebat yang bukunya pernah saya baca. Tahun 2010 saya berkenalan dengan penulis-penulis baru yang ternyata hebat juga (karena sudah mempunyai buku). Beberapa penerbit pun saya jalin hubungan pertemanan salah satunya adalah Leutika Publisher. Saya merasakan banyak manfaat ketika berteman dengan mereka. Banyak lomba-lomba kepenulisan yang dibuat dengan kreatif dan selalu menarik perhatian untuk saya ikuti.

Sampai akhirnya, takdir mempertemukan saya (cieee….) dengan lini terbaru dari Leutika Publisher yaitu Leutika Prio. Sebuah penerbit yang tidak akan menolak naskah untuk diterbitkan. Saya masih ingat, Leutika Prio pertama kali muncul dengan menawarkan empat paket penerbitan dengan biaya yang sangat-sangat terjangkau. Mulai dari paket gratis, Rp. 100.000,- Rp. 200.000,- sampai yang tertinggi cuma Rp. 400.000,-. Tentu saja dengan keunggulan masing-masing.

Maka ingatan saya kembali pada naskah buku yang sempat terbengkalai. Bagi saya, ini kesempatan langka dan bagus untuk menerbitkan naskah saya. Maka mulailah saya menggarap ulang naskah tersebut. Merivisinya kembali, mengedit, mengganti beberapa tulisan dan menambahkan tulisan-tulisan baru.

Meskipun diterbitkan secara indie, saya ingin buku saya nanti memiliki ISBN agar bisa terdaftar secara internasional. Maka paket pilihan yang dilengkapi ISBN pun saya pilih. Lengkap dengan jasa layout isi dan desain kover. Semua materi (isi) naskah tidak ada yang berubah, sesuai dengan keinginan saya. Hanya mentransfer sejumlah uang yang ditentukan, saya tinggal menunggu naskah saya diterbitkan. Pasti! Saya menanti dengan harap-harap cemas. Seperti apa ya, buku saya nanti? *ting... ting... sambil membayangkan. Hehe...

Surat kerjasama dari penerbit Leutika Prio juga telah saya kirim kembali setelah saya tandatangani lengkap dengan jumlah royalti yang diinginkan. Jumlah royalti ini lebih besar dibandingkan kalau dikirim ke penerbit regular loh. Rata-rata penerbit regular hanya memberi royalti paling tinggi 10% dari harga buku kita. Nah, di penerbitan indie Leutika Prio ini, kita bebas menentukan jumlah royalti yang kita inginkan. Jumlah ini akan sama dengan yang diterima oleh penerbit.

Dan akhirnya, setelah sebelas hari kerja, tepatnya tanggal 4 Desember 2010 buku saya terbit di Leutika Prio.  Jreng! Sebuah kover buku bergambar tanda tanya yang terangkai dari dedauan. Indah. Di bagian bawahnya tertulis judul dengan tegas: “Do You Feel Happy?”. Saya masih ingat, buku saya adalah buku keenam yang diterbitkan oleh Leutika Prio. Perasaan saya sama seperti ketika buku saya diterbitkan pertama kali tahun 2006 silam. Saya benar-benar bahagia melihatnyaSangat artistik, sederhana tapi sungguh bermakna.

Kereeeen bangeet nih buku”, narsis saya kambuh. Hehe…

Sebelas hari berikutnya, sebuah buku dengan kover yang pernah saya lihat di facebook itu akhirnya sampai ke rumah saya sebagai bukti terbit. Benar-benar menakjubkan! Kovernya cantik dengan kertas tebal. Layout dan kertas isinya baik, cetakannya oke, dan dilengkapi dengan plastik pembungkus buku. Meskipun diterbitkan secara indie, kualitasnya tidak kalah dengan penerbitan regular.

Buku ini diterbitkan dengan sistem POD (Print on Demand), hanya dicetak jika ada yang membeli dan dijual hanya secara online. Artinya buku ini beredar terbatas, tidak bisa ditemui di toko-toku buku biasa. Kondisi ini menjadi terbantu ketika Leutika Prio membuat website khusus yang memasarkan buku-buku ini. Terlebih lagi, promosi yang efektif melalui akun facebook dari tiga akun (Leutika Publisher, Leutika Publisher Dua, Leutika Prio) dengan jumlah teman lebih dari 7.000 orang.

Akhinya, buku kedua saya terbit juga setelah penantian panjang. Wuaaah. Semua ini semoga menjadi langkah kecil menuju impian besar, menjadi seorang penulis yang mengabdikan di jalan kebaikan, insya Allah.

Lalu, kenapa saya memilih jalur indie seperti ini?

  1. Saya mungkin agak idealis. Hehe… Tetapi alasan utama saya adalah ingin menyebarkan juga taman bacaan gratis PONDOK HATI yang saya dirikan/kelola dengan mencantumkan materi promosinya di buku tersebut.
  2. Biaya paket penerbitannya cukup murah. Kalo sekarang sih Rp. 500.000,- sudah mendapat jasa desain kover, layout isi, ISBN (sekali lagi, sudah ada ISBN-nya loh) dan ada editing kesalahan ketik pula. Bagi saya, ini cukup murah. Saya pernah mendapat informasi dari salah satu jasa penerbitan, untuk jasa bikin kover saja perlu membayar sampai Rp. 450.000,-. Belum termasuk jasa editing, proofing, dan layout. Waduuh!
  3. Meski dijual secara online, kita tak perlu khawatir karena jaringan cukup banyak. Selain dipasarkan melalui web resmi, buku kita juga dipromosikan melalui akun facebook penerbit. Saya tidak perlu pusing dengan urusan distribusi buku. Penulis pun bisa mempromosikan bukunya melalui akun facebook dan blog-nya masing-masing.
  4. Karena dicetak dengan sistem POD, maka tidak ada pihak yang dirugikan. Penulis tidak dipaksa untuk membeli bukunya sendiri dalam jumlah minimal tertentu. Terserah saja. Penerbit pun hanya akan mencetak jika ada pemesanan buku, dan diantar ke alamat masing-masing dengan menambahkan ongkos kirim. Jumlah royalti penulis juga lebih besar dibandingkan dengan penerbit regular. Kalau gak salah, sekarang Leutika Prio menawarkan sekitar 15 % royalti dari harga buku.
  5. Terakhir, melalui karya (buku), saya ingin belajar banyak hal. Sebagai sarana  penghiburan, muhasabah dan dakwah. Melalui jalur ini, saya tidak perlu takut naskah buku saya akan ditolak. Naskah buku saya akan diterbitkan secara utuh dan pesan dakwah pun akhirnya bisa tersebar secara lebih baik dengan bukti fisik berupa buku. Selain itu, semoga ini bisa menjadi jalan kebaikan (amal jariyah berupa ilmu bermanfaat) yang pahalanya terus mengalir. Dan tentu saja akan menjadi warisan buat anak cucu sebagai bukti bahwa saya pernah hidup di dunia ini. Hehe... *Deuu... filosofis sekaleee…

Penerbitan buku jalur ‘regular’ maupun indie memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bagi saya, munculnya Leutika Prio menjadi semacam revolusi baru dunia penerbitan buku indie yang sekarang ini cukup marak. Siapa pun dari kita yang ingin menulis, menyampaikan cerita/kisah, pemikiran atau apa pun itu, sekarang menjadi lebih mudah diterbitkan dalam bentuk buku. Maka tak berlebihan jika motto Leutika Prio: “Bukan yang Pertama, Tetapi akan Menjadi Nomor 1” suatu saat akan menjadi kenyataan. Terbukti, hanya dalam waktu relatif singkat semenjak diluncurkan, banyak buku-buku yang telah diterbitkan oleh penerbit Leutika Prio ini. Tentu dengan biaya yang murah, tetapi tidak murahan karena dikerjakan secara profesional. Leutika Prio telah membuka salah satu jalan mimpi saya untuk mantap menulis. Tulis buku dan terbitkan dengan mudah. Menebarkan manfaat dan berusaha meraih keberkahan hidup.

Dalam setiap tetesan keringat yang jatuh, semoga ada bahagia yang menjelma cahaya”, seperti tulis saya dalam buku ‘Do You Feel Happy?’ ini.

Ditulis oleh:  Ibnu Atoirahman 



0 komentar: