Mengatasi ‘Kutukan’ Buku Indie!
Naskah ditolak penerbit? Wah, ini ‘kutukan’. Hussy, hiperbolis! Hehe... Sudah berusaha semaksimal mungkin, eeh… ujung-ujungnya visi penerbit kadang tidak selalu sejalan dengan penulis. Sebenarnya naskah saya telah selesai tahun 2008 yang lalu. Tetapi saya bingung, apakah akan dikirim ke penerbit biasa (regular) atau mencoba sesuatu yang baru yaitu diterbitkan secara self publishing (indie).
“Apa?!?
Self Publishing? Buku Indie? Apa tuh?”
“Itu
loh, buku yang diterbitkan secara independen/pribadi”
Sambil berpikir, saya pun
mencari-cari informasi tentang self publishing di internet.
Ternyata keren juga ya, punya penerbitan sendiri. Bisa ‘semau’ kita dengan
naskah yang kita miliki tanpa ada ‘intervensi’ dari pihak lain. Saya bisa
menuliskan nama penerbitan yang saya inginkan. Saya akan mencantumkan ‘iklan promosi’
taman bacaan gratis (sebuah lembaga sosial kemasyarakatan yang bersifat
nirlaba) yang saya kelola dalam buku tersebut, Asiik…
Tetapi menerbitkan buku
melalui jalur indie ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Semua proses harus dilakukan sendiri, mulai dari editing, layout isi, sampai
bikin kover. Kalau ingin buku kita diakui secara internasional, kita bisa
meminta nomor ISBN (kalau gak salah sekarang gratis) ke perpustakaan nasional.
Tapi sepertinya cukup repot juga karena ada sejumlah persyaratan tertentu yang
harus dilengkapi.
“So,
gimana dong?”
“Tenang,
ada Jasa Penerbitan, kok!”
Mereka mau menerbitkan
naskah buku kita secara utuh tetapi harus dengan syarat minimal cetak 200
eksemplar buku. Jika dihitung-hitung bisa menghabiskan dana sedikitnya Rp.
5.000.0000.
“Aduh,
saya gak punya uang sebanyak itu,” batin saya.
Ditambah lagi, bagaimana
jaringan pemasaran buku saya nanti? Kalau saya bergerak sendiri (sekaligus
menjadi distributor), apa saya bisa? Memang sih, kita bisa bekerja sama dengan
jaringan distributor yang alamatnya sudah saya ketahui. Tetapi, biasanya
distributor seperti itu meminta minimal 1000 buku. Wuuahh, untuk
200 buku aja saya belum mampu, bagaimana dengan 1000 buku. Selain masalah buku
yang menumpuk di ‘gudang’, saya belum tahu seluk beluk dunia agen distrubusi
semacam ini. Bagaimana mengatasi buku yang tidak terjual nanti? Tentu bukan
perkara mudah. Wah, wah. Bisa-bisa ini jadi ‘kutukan’ juga
bagi dunia penerbitan buku indie. Intinya, saya belum siap secara
mental, terlebih lagi finansial.
Lalu, suatu hari, saya
menemukan sebuah jasa pelayanan penerbitan yang hanya mensyaratkan menerbitkan
buku minimal 40 buah saja.
“Wah,
boleh juga nih.” Batin
saya berceloteh lagi.
Tetapi, setelah
dikalkulasi, dana yang dikeluarkan ternyata tidak sedikit. Untuk biaya bikin
kover, biaya editing, biaya layout dan biaya
pengurusan ISBN minimal Rp. 700.000,-. Belum termasuk biaya cetak buku. Kalau
rata-rata satu buku membutuhkan biaya cetak produksi Rp. 25.000-, berarti saya
harus membayar Rp. 1.000.000,-. Wuah, masih lebih hemat jika menerbitkan 200
buku dong? Ya, iyalah. Dan akhirnya, rencana saya untuk menerbitkan buku secara indie pun
terbengkalai sudah.
Tahun 2009 saya membuka
akun di facebook. Gara-gara facebook, saya
bisa berkenalan dengan penulis-penulis hebat yang bukunya pernah saya baca.
Tahun 2010 saya berkenalan dengan penulis-penulis baru yang ternyata hebat juga
(karena sudah mempunyai buku). Beberapa penerbit pun saya jalin hubungan
pertemanan salah satunya adalah Leutika Publisher. Saya merasakan banyak
manfaat ketika berteman dengan mereka. Banyak lomba-lomba kepenulisan yang
dibuat dengan kreatif dan selalu menarik perhatian untuk saya ikuti.
Sampai akhirnya, takdir
mempertemukan saya (cieee….) dengan lini terbaru dari Leutika Publisher yaitu
Leutika Prio. Sebuah penerbit yang tidak akan menolak naskah untuk diterbitkan.
Saya masih ingat, Leutika Prio pertama kali muncul dengan menawarkan empat
paket penerbitan dengan biaya yang sangat-sangat terjangkau. Mulai dari paket
gratis, Rp. 100.000,- Rp. 200.000,- sampai yang tertinggi cuma Rp. 400.000,-.
Tentu saja dengan keunggulan masing-masing.
Maka ingatan saya kembali
pada naskah buku yang sempat terbengkalai. Bagi saya, ini kesempatan langka dan
bagus untuk menerbitkan naskah saya. Maka mulailah saya menggarap ulang naskah
tersebut. Merivisinya kembali, mengedit, mengganti beberapa tulisan dan
menambahkan tulisan-tulisan baru.
Meskipun diterbitkan secara indie,
saya ingin buku saya nanti memiliki ISBN agar bisa terdaftar secara
internasional. Maka paket pilihan yang dilengkapi ISBN pun saya pilih. Lengkap
dengan jasa layout isi dan desain kover. Semua materi (isi)
naskah tidak ada yang berubah, sesuai dengan keinginan saya. Hanya mentransfer
sejumlah uang yang ditentukan, saya tinggal menunggu naskah saya diterbitkan.
Pasti! Saya menanti dengan harap-harap cemas. Seperti apa ya, buku saya nanti? *ting...
ting... sambil membayangkan. Hehe...
Surat kerjasama dari
penerbit Leutika Prio juga telah saya kirim kembali setelah saya tandatangani
lengkap dengan jumlah royalti yang diinginkan. Jumlah royalti ini lebih besar
dibandingkan kalau dikirim ke penerbit regular loh. Rata-rata
penerbit regular hanya memberi royalti paling tinggi 10% dari harga buku kita.
Nah, di penerbitan indie Leutika Prio ini, kita bebas
menentukan jumlah royalti yang kita inginkan. Jumlah ini akan sama dengan yang
diterima oleh penerbit.
Dan akhirnya, setelah
sebelas hari kerja, tepatnya tanggal 4 Desember 2010 buku saya terbit di
Leutika Prio. Jreng! Sebuah kover buku bergambar tanda
tanya yang terangkai dari dedauan. Indah. Di bagian bawahnya tertulis judul
dengan tegas: “Do You Feel Happy?”. Saya masih ingat, buku saya
adalah buku keenam yang diterbitkan oleh Leutika Prio. Perasaan saya sama
seperti ketika buku saya diterbitkan pertama kali tahun 2006 silam. Saya
benar-benar bahagia melihatnya. Sangat artistik, sederhana tapi
sungguh bermakna.
“Kereeeen bangeet nih
buku”, narsis saya kambuh. Hehe…
Sebelas hari berikutnya,
sebuah buku dengan kover yang pernah saya lihat di facebook itu
akhirnya sampai ke rumah saya sebagai bukti terbit. Benar-benar menakjubkan!
Kovernya cantik dengan kertas tebal. Layout dan kertas isinya baik, cetakannya
oke, dan dilengkapi dengan plastik pembungkus buku. Meskipun diterbitkan secara indie,
kualitasnya tidak kalah dengan penerbitan regular.
Buku ini diterbitkan dengan
sistem POD (Print on Demand), hanya dicetak jika ada yang
membeli dan dijual hanya secara online. Artinya buku ini beredar
terbatas, tidak bisa ditemui di toko-toku buku biasa. Kondisi ini menjadi
terbantu ketika Leutika Prio membuat website khusus yang
memasarkan buku-buku ini. Terlebih lagi, promosi yang efektif melalui akun facebook dari
tiga akun (Leutika Publisher, Leutika Publisher Dua, Leutika Prio) dengan
jumlah teman lebih dari 7.000 orang.
Akhinya, buku kedua saya
terbit juga setelah penantian panjang. Wuaaah. Semua ini
semoga menjadi langkah kecil menuju impian besar, menjadi seorang penulis yang
mengabdikan di jalan kebaikan, insya Allah.
Lalu, kenapa saya memilih
jalur indie seperti ini?
- Saya mungkin agak idealis. Hehe… Tetapi alasan utama saya adalah ingin menyebarkan juga taman bacaan gratis PONDOK HATI yang saya dirikan/kelola dengan mencantumkan materi promosinya di buku tersebut.
- Biaya paket penerbitannya cukup murah. Kalo sekarang sih Rp. 500.000,- sudah mendapat jasa desain kover, layout isi, ISBN (sekali lagi, sudah ada ISBN-nya loh) dan ada editing kesalahan ketik pula. Bagi saya, ini cukup murah. Saya pernah mendapat informasi dari salah satu jasa penerbitan, untuk jasa bikin kover saja perlu membayar sampai Rp. 450.000,-. Belum termasuk jasa editing, proofing, dan layout. Waduuh!
- Meski dijual secara online, kita tak perlu khawatir karena jaringan cukup banyak. Selain dipasarkan melalui web resmi, buku kita juga dipromosikan melalui akun facebook penerbit. Saya tidak perlu pusing dengan urusan distribusi buku. Penulis pun bisa mempromosikan bukunya melalui akun facebook dan blog-nya masing-masing.
- Karena dicetak dengan sistem POD, maka tidak ada pihak yang dirugikan. Penulis tidak dipaksa untuk membeli bukunya sendiri dalam jumlah minimal tertentu. Terserah saja. Penerbit pun hanya akan mencetak jika ada pemesanan buku, dan diantar ke alamat masing-masing dengan menambahkan ongkos kirim. Jumlah royalti penulis juga lebih besar dibandingkan dengan penerbit regular. Kalau gak salah, sekarang Leutika Prio menawarkan sekitar 15 % royalti dari harga buku.
- Terakhir, melalui karya (buku), saya ingin belajar banyak hal. Sebagai sarana penghiburan, muhasabah dan dakwah. Melalui jalur ini, saya tidak perlu takut naskah buku saya akan ditolak. Naskah buku saya akan diterbitkan secara utuh dan pesan dakwah pun akhirnya bisa tersebar secara lebih baik dengan bukti fisik berupa buku. Selain itu, semoga ini bisa menjadi jalan kebaikan (amal jariyah berupa ilmu bermanfaat) yang pahalanya terus mengalir. Dan tentu saja akan menjadi warisan buat anak cucu sebagai bukti bahwa saya pernah hidup di dunia ini. Hehe... *Deuu... filosofis sekaleee…
Penerbitan buku jalur
‘regular’ maupun indie memang memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Bagi saya, munculnya Leutika Prio menjadi semacam
revolusi baru dunia penerbitan buku indie yang sekarang ini
cukup marak. Siapa pun dari kita yang ingin menulis, menyampaikan cerita/kisah,
pemikiran atau apa pun itu, sekarang menjadi lebih mudah diterbitkan dalam
bentuk buku. Maka tak berlebihan jika motto Leutika Prio: “Bukan yang
Pertama, Tetapi akan Menjadi Nomor 1” suatu saat akan menjadi
kenyataan. Terbukti, hanya dalam waktu relatif singkat semenjak diluncurkan,
banyak buku-buku yang telah diterbitkan oleh penerbit Leutika Prio ini. Tentu
dengan biaya yang murah, tetapi tidak murahan karena dikerjakan secara
profesional. Leutika Prio telah membuka salah satu jalan mimpi saya untuk
mantap menulis. Tulis buku dan terbitkan dengan mudah. Menebarkan manfaat dan
berusaha meraih keberkahan hidup.
“Dalam setiap tetesan
keringat yang jatuh, semoga ada bahagia yang menjelma cahaya”, seperti tulis
saya dalam buku ‘Do You Feel Happy?’ ini.
Ditulis oleh: Ibnu Atoirahman
0 komentar: