Self Publishing: Hamil Sastra, Aktualisasi dan Jarak Tembak
Berbagai kalangan, mulai
dari para penggiat literer, akademisi, komunitas pecinta budaya sampai pribadi
yang notabene awam sastra, pada hakikatnya menilai bahwa penulis yang
menerbitkan buku melalui jalur self publishing adalah penulis
sekali jadi, karbitan ataupun penulis fast-track. Seakan-akan ada
pengelompokan yang tidak kasat mata bahwa penulis yang menempuh rute penerbitan
konvensional adalah kalangan ‘borjuis’ dan ‘priyayi’, sedangkan, para pelaku
literasi yang menerbitkan sendiri bukunya dan hanya nampang di
media online adalah kelompok ‘proletar’ dan ‘abangan’ dalam
belantika sastra Indonesia.
Sebenarnya, klasifikasi ini tidak sepenuhnya
salah atau bersifat diskriminatif karena ada ‘sistem seleksi’ yang sangat ketat
bagi siapa saja yang ingin menerbitkan buku secara tradisional. Tetapi, kita
juga tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa ada beberapa kisah metamorfosis yang
dalam prosesnya mengubah penulis self-published, yang namanya tidak
ada dalam ensiklopedia sastra manapun, menjadi penulis berlabel best
seller nasional bahkan internasional yang karyanya diapresiasi dunia.
Para pengagum literasi
klasik pasti telah hafal di luar kepala nama-nama seperti: Virginia Woolf, Walt
Whitman, James Joyce ataupun William Blake. Tetapi, mungkin hanya beberapa yang
membuka lembar demi lembar biografi mereka dan mendapati fakta bahwa dulu
mereka menerbitkan sendiri tulisan-tulisan pertama mereka. Lantas, siapa yang
tidak pernah mendengar judul buku Chicken Soup for The Soul? Buku
yang mengilhami penerbitan berbagai buku antologi kisah inspiratif di berbagai
belahan bumi tersebut dulunya diterbitkan sendiri oleh Jack Canfield dan Mark
Victor Hansen. Eragon sebelum dipinang penerbit Knopf, juga
terlahir dari rahim self publisher. Lantas ada Richard Paul Evans,
yang mendanai sendiri penerbitan buku The Christmas Box, yang
berakhir dengan mencetak sejarah dalam catatan Jurnal Wall Street pada tahun
1995. Buku yang sebelumnya hanya ditujukan untuk dua putri kesayangannya
tersebut menjadi buku dengan angka penjualan tertinggi dalam satu minggu dan
telah menasbihkan pengarangnya menjadi salah satu pengarang paling sukses dalam
segi finansial pada dekade 90-an. Jadi, kenapa masih kaku, ragu dan malu
untuk turut serta mendobrak paradigma bahwa karya-karya self publishing tidak
begitu diminati pasaran dan hanya mempunyai ‘jarak tembak’ yang sempit?
Saya sendiri sebagai
penulis pemula, ingin mencoba dua pilihan penerbitan, indie dan
konvensional. Alasan saya sangat sederhana. Saya 26 tahun dan masih diliputi
oleh idealisme kaum muda. Saya ingin ‘menaklukkan’ dua-duanya. Sesederhana itu
dan searogan itu.
Bagi saya pribadi, tidak
ada kategori-kategori yang hanya akan menciptakan sekat antara penulis indie dan
yang tidak. Dalam hemat saya, sebagaimana kehidupan, buku dan penerbitan pun
menawarkan varian-varian. Akal dan rasa kita yang akan membantu untuk
menetapkan pilihan atas berbagai varian tersebut. Sebagaimana yang dikatakan
Sartre, kita harus bertanggung jawab terhadap apa pun pilihan yang kita ambil.
Dalam konteks ini pun tidak ada pengecualian. Apa pun rute penerbitan yang kita
jalani sebagi penulis, kita mempunyai tanggung jawab pribadi maupun tanggung
jawab terhadap publik, tanggung jawab yang jika dipilah-pilah lagi menjadi
tanggung jawab sosial, moral dan intelektual. Tanggung jawab yang akan
menggerakkan pena kita untuk menulis karya yang mendidik, berkualitas dan
mempunyai daya inspirasi, walaupun ‘hanya’ diterbitkan sendiri. Pada titik ini,
kita sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada ‘hal-hal krusial’ yang membedakan
antara penulis indie dan konvensional. Karena, sedikit
mengubah apa yang dikatakan oleh Rene Descartes, “kita menulis, maka kita ada”,
apa pun wahananya.
Banyak insan telah
mendapatkan jawaban dan menciptakan definisinya sendiri atas pertanyaan:
“Mengapa kita menulis?” tetapi, belum banyak yang berusaha mencari sambutan
atas satu tanya yang berkait: “Mengapa kita harus menerbitkan tulisan kita?”
seakan itu tanya, hanya retorika belaka. Biasanya jawaban berkisar dari
alasan komersil seperti untuk mata pencaharian sampai alasan psikologi, yang
meliputi popularitas, demi ‘egoisme’ pribadi, yakni untuk ‘membuat’ orang
membaca tulisan kita serta untuk memenuhi panggilan nurani. Benarkah itu
semata?
Mengutip persis apa yang
dikatakan oleh Ahmad Tohari, pengarang Ronggeng Dukuh Paruk, “Saya
menulis karena saya hamil sastra, maka kelahiran sebuah karya sastra adalah
sesuatu yang alami dan dialektis.” Dari apa yang dikatakan beliau, saya ingin
melontarkan satu pertanyaan susulan: “Apa Anda tidak ingin menjadi kucing
sastra, yang berkali-kali bunting dan melahirkan anak-anak Anda sendiri?” dan,
anak-anak tersebut bukanlah milik Anda sendiri. Biarkan dia menjalani takdirnya
sendiri.
Maksud saya di sini adalah
setelah kita melahirkan suatu karangan, yang merupakan anak kita, bisa dari
hasil kontemplasi kritis kita atas realitas atau pun sebagai sarana penyatuan
cipta, rasa dan karsa kita, kita tidak boleh mencabut nyawa mereka dan kemudian
menguburnya. Karya kita adalah proses ekstraksi atas berbagai unsur alam
semesta, maka kembalikan dia kepada semesta untuk mengurai kembali, hidup dalam
pikiran-pikiran atau bahkan tumbuh berkembang dalam zaman-zaman yang berbeda.
Dengan melakukan ini, Anda tidak hanya sekedar bekarya, tetapi juga berdaya
guna dan menjadi setitik inspirasi untuk dunia. Itulah mengapa Anda harus
menerbitkan karangan Anda.
Tetapi, ada banyak hal yang
menjadikan tulisan kita ditolak oleh penerbit konvensional. Mungkin nama kita
dianggap kurang menjual, topik tidak menarik pasaran karena dianggap terlalu
berat, cara bertutur dan gaya bahasa tidak sesuai dengan jargon penerbit
tertentu, menulis hanya untuk satu dua orang, seperti ayah yang telah
tiada atau dua cinta di masa lalu, topik dianggap masih kontroversial, yang
akan memancing reaksi publik, sampai tema yang dianggap sudah ketinggalan
zaman, dsb. Oleh karena itu, penebit indie ada, berada di
tengah-tengah kita, siap merangkul kita untuk menyingkirkan halangan yang akan
mempermudah proses persalinan, serta membidani sampai merawat anak kita hingga
siap menuju tempat semestinya dia berada. Berikut ini hanya jok kecil saya.
Saya membayangkan jika dari masa ke masa, banyak anak-anak yang gagal
dilahirkan karena ditolak oleh penerbit konvensional dengan berbagai alasan
yang dikemukakan di atas, berapa banyak kuburan sastra sekarang?
Ada keuntungan dan kerugian
dalam setiap pilihan, jika kita memilih jalur indie publishing,
kita harus siap atas konsekuensi apa pun, positif dan negatif. Ada beberapa
keuntungan menerbitkan secara indie, selain yang telah disebutkan
di atas. Dalam artikel ini saya tidak menguraikan masalah keuntungan teknis,
seperti: syarat penerbitan yang lebih mudah, perbedaan royalti yang akan
direguk, ketidak-terikatan dengan kontrak jangka panjang, dsb, tetapi lebih memfokuskan
tulisan saya pada keuntungan yang bersifat non-teknis.
Pertama, ditinjau dari segi
psikologi, self publishing merupakan sarana untuk memenuhi
kebutuhan akan aktualisasi diri. Aktualisasi tidak hanya berarti hidup dan
sekedar ada, tetapi juga mengoptimalkan apa yang ada dalam diri kita untuk
memperbaiki ruang-ruang internal maupun eksternal dari diri kita. Penerbitan
konvensional juga menghadiahkan kredit yang sama untuk aktualisasi diri.
Tetapi, ada beberapa kondisi di mana kita tidak bisa mengoptimalkan semua
potensi kita atau kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri karena harus
menyesuaikan karya dengan keinginan penerbit, selera pasar, topik yang laris
manis, dsb. Hal ini tidak terjadi dalam self publishing. Dengan
kata lain, dengan jalur indie, posisi Anda di sini tidak hanya
mencipta di tengah-tengah masyarakat, tetapi juga lebih leluasa untuk
‘mencipta’ masyarakat itu sendiri.
Kedua, self
publishing akan membantu Anda dalam mengembangkan produktivitas yang
berkualitas. Sering ditolak penerbit akan dianggap sebagai tantangan untuk
sebagian pengarang. Untuk sebagian yang lain, akan membuat mereka beranggapan
bahwa hasil karangannya buruk atau mereka tidak berbakat menjadi pengarang.
Tidak lama kemudian, mereka akan pensiun dini, atau istilah prokemnya,
menggantungkan keyboard. Padahal, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, ada beberapa paradoks indah dalam dunia perbukuan bahwa naskah yang
ditolak penerbit nasional maupun regional, akan bercokol menjadi best
seller di kemudian hari. Seperti nasib Spartacus-nya
Howard Fast, yang sebelumnya ditolak oleh beberapa penerbit berskala besar.
Sebaliknya dengan self publishing, jika buku telah dilempar ke
pasaran dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat, akan terjadi eskalasi
pada kepercayaan diri penulisnya, sehingga berdampak terhadap peningkatan
produktivitas dalam mencipta karya. Di samping itu, karena sistem cetak self
publishing berdasarkan permintaan publik, jadi mau tidak mau akan
‘memaksa’ pengarang untuk menciptakan naskah yang berkualitas, bukan naskah
biasa atau naskah yang tergolong kelompok ‘Avant Garde’.
Kerugian self
publishing, mereka bilang, terletak pada sistem pemasaran. Buku-buku self-published beberapa
dijual online dan tidak terpampang di deretan toko buku,
sehingga jarak tembaknya sempit. Benarkah begitu? Oke, anggap saja hal itu
benar. Jalur indie kalah 1-0 dalam sektor luas pemasaran.
Tetapi, pengarang masih bisa memanfaatkan sales force atau
kekuatan penjualan yang lain. Seperti, kualitas isi buku, kover, layout yang
menarik, dsb. Jika buku Anda masuk dalam taraf ‘bintang lima’, akan ada
beberapa penulis yang tertarik meresensi buku tersebut di berbagai media massa
nasional. Sales force yang lain adalah jalur distribusi. Akan
menguntungkan jika Anda punya komunitas kepenulisan yang akan membantu proses
pemasaran dan distribusi. Kita ambil contoh satu self-publisher,
yakni Leutika Prio. Leutika sendiri mempunyai sebuah wadah, yaitu LRS (Leutika
Reading Society) yang ada di beberapa daerah di Indonesia, yang turut
mengakomodasi untuk menjangkau daerah-daerah yang berada ribuan kilometer dari
kediaman sang penulis.
Kedua, zaman ini adalah
eranya digital dan gadget. Kemajuan teknologi online telah
menyentuh hampir semua sisi dan lini kehidupan. Facebook kini
menjadi wadah berseminya kreativitas para pekerja literasi, akademisi sampai
pedagang grosir dan eceran. Obama juga menggunakan situs jejaring sosial
sebagai cara kampanye yang terbukti ampuh mengantarkannya menjadi presiden
kulit hitam pertama di Amerika. Atau kita bisa bercermin dari pengalaman Amanda
Hocking, yang secara agresif mempromosikan buku-bukunya melalui Twitter dan Facebook.
Walau kebanyakan bukunya hanya ‘e-book’ dan ‘hanya’ dijual melalui internet,
tetapi buku-buku Hocking telah terjual sebanyak 164.000 kopi pada tahun 2010.
Benarkah jarak tembak self publishing sempit? Di sini saya
hanya bisa mengembalikan jawabannya kepada Anda.
Anda! Ya, Anda! Ya, Anda
yang sedang membaca artikel ini, masihkah kaku, ragu dan malu menerbitkan buku
Anda sendiri?
Ditulis oleh: Puspita
Ayuningtyas Prawesti
0 komentar: