Kamis, 23 Februari 2012

Self Publishing: Hamil Sastra, Aktualisasi dan Jarak Tembak




Berbagai kalangan, mulai dari para penggiat literer, akademisi, komunitas pecinta budaya sampai pribadi yang notabene awam sastra, pada hakikatnya menilai bahwa penulis yang menerbitkan buku melalui jalur self publishing adalah penulis sekali jadi, karbitan ataupun penulis fast-track. Seakan-akan ada pengelompokan yang tidak kasat mata bahwa penulis yang menempuh rute penerbitan konvensional adalah kalangan ‘borjuis’ dan ‘priyayi’, sedangkan, para pelaku literasi yang menerbitkan sendiri bukunya dan hanya nampang di media online adalah kelompok ‘proletar’ dan ‘abangan’ dalam belantika sastra Indonesia.

Sebenarnya, klasifikasi ini tidak sepenuhnya salah atau bersifat diskriminatif karena ada ‘sistem seleksi’ yang sangat ketat bagi siapa saja yang ingin menerbitkan buku secara tradisional. Tetapi, kita juga tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa ada beberapa kisah metamorfosis yang dalam prosesnya mengubah penulis self-published, yang namanya tidak ada dalam ensiklopedia sastra manapun, menjadi penulis berlabel best seller nasional bahkan internasional yang karyanya diapresiasi dunia.


Para pengagum literasi klasik pasti telah hafal di luar kepala nama-nama seperti: Virginia Woolf, Walt Whitman, James Joyce ataupun William Blake. Tetapi, mungkin hanya beberapa yang membuka lembar demi lembar biografi mereka dan mendapati fakta bahwa dulu mereka menerbitkan sendiri tulisan-tulisan pertama mereka. Lantas, siapa yang tidak pernah mendengar judul buku Chicken Soup for The Soul? Buku yang mengilhami penerbitan berbagai buku antologi kisah inspiratif di berbagai belahan bumi tersebut dulunya diterbitkan sendiri oleh Jack Canfield dan Mark Victor Hansen. Eragon sebelum dipinang penerbit Knopf, juga terlahir dari rahim self publisher. Lantas ada Richard Paul Evans, yang mendanai sendiri penerbitan buku The Christmas Box, yang berakhir dengan mencetak sejarah dalam catatan Jurnal Wall Street pada tahun 1995. Buku yang sebelumnya hanya ditujukan untuk dua putri kesayangannya tersebut menjadi buku dengan angka penjualan tertinggi dalam satu minggu dan telah menasbihkan pengarangnya menjadi salah satu pengarang paling sukses dalam segi finansial pada dekade 90-an.  Jadi, kenapa masih kaku, ragu dan malu untuk turut serta mendobrak paradigma bahwa karya-karya self publishing tidak begitu diminati pasaran dan hanya mempunyai ‘jarak tembak’ yang sempit?

Saya sendiri sebagai penulis pemula, ingin mencoba dua pilihan penerbitan, indie dan konvensional. Alasan saya sangat sederhana. Saya 26 tahun dan masih diliputi oleh idealisme kaum muda. Saya ingin ‘menaklukkan’ dua-duanya. Sesederhana itu dan searogan itu.

Bagi saya pribadi, tidak ada kategori-kategori yang hanya akan menciptakan sekat antara penulis indie dan yang tidak. Dalam hemat saya, sebagaimana kehidupan, buku dan penerbitan pun menawarkan varian-varian. Akal dan rasa kita yang akan membantu untuk menetapkan pilihan atas berbagai varian tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Sartre, kita harus bertanggung jawab terhadap apa pun pilihan yang kita ambil. Dalam konteks ini pun tidak ada pengecualian. Apa pun rute penerbitan yang kita jalani sebagi penulis, kita mempunyai tanggung jawab pribadi maupun tanggung jawab terhadap publik, tanggung jawab yang jika dipilah-pilah lagi menjadi tanggung jawab sosial, moral dan intelektual. Tanggung jawab yang akan menggerakkan pena kita untuk menulis karya yang mendidik, berkualitas dan mempunyai daya inspirasi, walaupun ‘hanya’ diterbitkan sendiri. Pada titik ini, kita sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada ‘hal-hal krusial’ yang membedakan antara penulis indie dan konvensional. Karena, sedikit mengubah apa yang dikatakan oleh Rene Descartes, “kita menulis, maka kita ada”, apa pun wahananya.

Banyak insan telah mendapatkan jawaban dan menciptakan definisinya sendiri atas pertanyaan: “Mengapa kita menulis?” tetapi, belum banyak yang berusaha mencari sambutan atas satu tanya yang berkait: “Mengapa kita harus menerbitkan tulisan kita?” seakan itu tanya, hanya retorika belaka.  Biasanya jawaban berkisar dari alasan komersil seperti untuk mata pencaharian sampai alasan psikologi, yang meliputi popularitas, demi ‘egoisme’ pribadi, yakni untuk ‘membuat’ orang membaca tulisan kita serta untuk memenuhi panggilan nurani. Benarkah itu semata?

Mengutip persis apa yang dikatakan oleh Ahmad Tohari, pengarang Ronggeng Dukuh Paruk, “Saya menulis karena saya hamil sastra, maka kelahiran sebuah karya sastra adalah sesuatu yang alami dan dialektis.” Dari apa yang dikatakan beliau, saya ingin melontarkan satu pertanyaan susulan: “Apa Anda tidak ingin menjadi kucing sastra, yang berkali-kali bunting dan melahirkan anak-anak Anda sendiri?” dan, anak-anak tersebut bukanlah milik Anda sendiri. Biarkan dia menjalani takdirnya sendiri.

Maksud saya di sini adalah setelah kita melahirkan suatu karangan, yang merupakan anak kita, bisa dari hasil kontemplasi kritis kita atas realitas atau pun sebagai sarana penyatuan cipta, rasa dan karsa kita, kita tidak boleh mencabut nyawa mereka dan kemudian menguburnya. Karya kita adalah proses ekstraksi atas berbagai unsur alam semesta, maka kembalikan dia kepada semesta untuk mengurai kembali, hidup dalam pikiran-pikiran atau bahkan tumbuh berkembang dalam zaman-zaman yang berbeda. Dengan melakukan ini, Anda tidak hanya sekedar bekarya, tetapi juga berdaya guna dan menjadi setitik inspirasi untuk dunia. Itulah mengapa Anda harus menerbitkan karangan Anda.

Tetapi, ada banyak hal yang menjadikan tulisan kita ditolak oleh penerbit konvensional. Mungkin nama kita dianggap kurang menjual, topik tidak menarik pasaran karena dianggap terlalu berat, cara bertutur dan gaya bahasa tidak sesuai dengan jargon penerbit tertentu,  menulis hanya untuk satu dua orang, seperti ayah yang telah tiada atau dua cinta di masa lalu, topik dianggap masih kontroversial, yang akan memancing reaksi publik, sampai tema yang dianggap sudah ketinggalan zaman, dsb. Oleh karena itu, penebit indie ada, berada di tengah-tengah kita, siap merangkul kita untuk menyingkirkan halangan yang akan mempermudah proses persalinan, serta membidani sampai merawat anak kita hingga siap menuju tempat semestinya dia berada. Berikut ini hanya jok kecil saya. Saya membayangkan jika dari masa ke masa, banyak anak-anak yang gagal dilahirkan karena ditolak oleh penerbit konvensional dengan berbagai alasan yang dikemukakan di atas, berapa banyak kuburan sastra sekarang?

Ada keuntungan dan kerugian dalam setiap pilihan, jika kita memilih jalur indie publishing, kita harus siap atas konsekuensi apa pun, positif dan negatif. Ada beberapa keuntungan menerbitkan secara indie, selain yang telah disebutkan di atas. Dalam artikel ini saya tidak menguraikan masalah keuntungan teknis, seperti: syarat penerbitan yang lebih mudah, perbedaan royalti yang akan direguk, ketidak-terikatan dengan kontrak jangka panjang, dsb, tetapi lebih memfokuskan tulisan saya pada keuntungan yang bersifat non-teknis. 

Pertama, ditinjau dari segi psikologi, self publishing merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri. Aktualisasi tidak hanya berarti hidup dan sekedar ada, tetapi juga mengoptimalkan apa yang ada dalam diri kita untuk memperbaiki ruang-ruang internal maupun eksternal dari diri kita. Penerbitan konvensional juga menghadiahkan kredit yang sama untuk aktualisasi diri. Tetapi, ada beberapa kondisi di mana kita tidak bisa mengoptimalkan semua potensi kita atau kita tidak bisa menjadi diri kita sendiri karena harus menyesuaikan karya dengan keinginan penerbit, selera pasar, topik yang laris manis, dsb. Hal ini tidak terjadi dalam self publishing. Dengan kata lain, dengan jalur indie, posisi Anda di sini tidak hanya mencipta di tengah-tengah masyarakat, tetapi juga lebih leluasa untuk ‘mencipta’ masyarakat itu sendiri.

Kedua, self publishing akan membantu Anda dalam mengembangkan produktivitas yang berkualitas. Sering ditolak penerbit akan dianggap sebagai tantangan untuk sebagian pengarang. Untuk sebagian yang lain, akan membuat mereka beranggapan bahwa hasil karangannya buruk atau mereka tidak berbakat menjadi pengarang. Tidak lama kemudian, mereka akan pensiun dini, atau istilah prokemnya, menggantungkan keyboard. Padahal, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada beberapa paradoks indah dalam dunia perbukuan bahwa naskah yang ditolak penerbit nasional maupun regional, akan bercokol menjadi best seller di kemudian hari. Seperti nasib Spartacus-nya Howard Fast, yang sebelumnya ditolak oleh beberapa penerbit berskala besar. Sebaliknya dengan self publishing, jika buku telah dilempar ke pasaran dan mendapat apresiasi positif dari masyarakat, akan terjadi eskalasi pada kepercayaan diri penulisnya, sehingga berdampak terhadap peningkatan produktivitas dalam mencipta karya. Di samping itu, karena sistem cetak self publishing berdasarkan permintaan publik, jadi mau tidak mau akan ‘memaksa’ pengarang untuk menciptakan naskah yang berkualitas, bukan naskah biasa atau naskah yang tergolong kelompok ‘Avant Garde’.

Kerugian self publishing, mereka bilang, terletak pada sistem pemasaran. Buku-buku self-published beberapa dijual online dan tidak terpampang di deretan toko buku, sehingga jarak tembaknya sempit. Benarkah begitu? Oke, anggap saja hal itu benar. Jalur indie kalah 1-0 dalam sektor luas pemasaran. Tetapi, pengarang masih bisa memanfaatkan sales force atau kekuatan penjualan yang lain. Seperti, kualitas isi buku, kover, layout yang menarik, dsb. Jika buku Anda masuk dalam taraf ‘bintang lima’, akan ada beberapa penulis yang tertarik meresensi buku tersebut di berbagai media massa nasional. Sales force yang lain adalah jalur distribusi. Akan menguntungkan jika Anda punya komunitas kepenulisan yang akan membantu proses pemasaran dan distribusi. Kita ambil contoh satu self-publisher, yakni Leutika Prio. Leutika sendiri mempunyai sebuah wadah, yaitu LRS (Leutika Reading Society) yang ada di beberapa daerah di Indonesia, yang turut mengakomodasi untuk menjangkau daerah-daerah yang berada ribuan kilometer dari kediaman sang penulis.

Kedua, zaman ini adalah eranya digital dan gadget. Kemajuan teknologi online telah menyentuh hampir semua sisi dan lini kehidupan. Facebook kini menjadi wadah berseminya kreativitas para pekerja literasi, akademisi sampai pedagang grosir dan eceran. Obama juga menggunakan situs jejaring sosial sebagai cara kampanye yang terbukti ampuh mengantarkannya menjadi presiden kulit hitam pertama di Amerika. Atau kita bisa bercermin dari pengalaman Amanda Hocking, yang secara agresif mempromosikan buku-bukunya melalui Twitter dan Facebook. Walau kebanyakan bukunya hanya ‘e-book’ dan ‘hanya’ dijual melalui internet, tetapi buku-buku Hocking telah terjual sebanyak 164.000 kopi pada tahun 2010. Benarkah jarak tembak self publishing sempit? Di sini saya hanya bisa mengembalikan jawabannya kepada Anda.

Anda! Ya, Anda! Ya, Anda yang sedang membaca artikel ini, masihkah kaku, ragu dan malu menerbitkan buku Anda sendiri?

Ditulis oleh:  Puspita Ayuningtyas Prawesti

0 komentar: