Self Publishing: Exclusive Publishing?
Self Publishing. Ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam dunia perbukuan tanah air. Dalam catatannya, Bambang Trim, seorang editor handal dan praktisi perbukuan nasional mendefinisikan ‘self publishing’ sebagai action seorang penulis saat memutuskan menerbitkan sendiri naskahnya dengan menyertakan investasi waktu dan dana, terlibat langsung dalam keseluruhan prosesnya mulai dari menggunakan jasa penerbitan, bernegosiasi dalam hal percetakan sampai ikut mengontrol pemasaran.
Dalam perkembangannya, self
publishing kian marak dengan bertambahnya jumlah penerbit
juga situs online yang memfasilitasi penerbitan buku secara
mandiri oleh penulis yang berlangsung dalam akad Al-Mudharabah ini, di mana
satu pihak (penulis) menyediakan seluruh modal dan pihak penerbit sebagai
pengelola, dan selanjutnya keuntungan akan dibagi berdasarkan kesepakatan kedua
belah pihak. Dengan cara ini seorang penulis akan mendapat manfaat ganda yaitu
mampu mengembangkan writerpreneurship secara optimal dan secara materi pun berpotensi
memperoleh imbalan lebih besar daripada menerbitkan melalui jalur konvensional
penerbitan biasa.
Belakangan, kemunculan
inovasi tekonologi cetak digital ‘Print on Demand’ (POD), yang
memungkinkan buku dicetak mulai dari skala satu eksemplar sesuai permintaan,
telah membuka peluang tanpa batas kepada setiap orang untuk menerbitkan bukunya
sendiri. Tinggal menyiapkan naskah, lalu menghubungi penerbit atau situs online yang
memfasilitasi self-publishing, melakukan transaksi
pembayaran sesuai ketentuan, maka seseorang dapat menerbitkan bukunya sendiri
dalam jumlah berapa pun, bahkan dimulai dari satu eksemplar!
Sebagai penulis dengan
aktivitas literasi masih di bawah kurun waktu lima tahun dan memiliki beberapa
antologi yang diterbitkan melalui self-publishing, ada beberapa manfaat saya peroleh dari
sistem ini dibandingkan menempuh cara konvensional dengan menawarkan naskah
kepada penerbit masif untuk kemudian diterbitkan dan didistribusikan dalam
skala nasional. Manfaat yang saya rangkum dalam satu tagline sebagai
aktualisasi ‘ekspresi – eksistensi’.
Mengekspresikan karya, tak
dipungkiri telah menjadi ‘kebutuhan dasar’ seorang penulis. Ekspresi yang tak
hanya untuk dinikmati sendirian melainkan juga seiring hasrat untuk melibatkan
orang lain sebagai objek perespons atas ekspresi tersebut. Keberadaan dunia
maya dengan fasilitas ‘digital diary’ berupa blog pribadi,
juga kemunculan berbagai jejaring sosial kian mendorong setiap orang untuk
mengekspresikan diri dan membagi inspirasi melalui tulisan. Harus diakui, bahwa
kehadiran media maya ini turut mendongkrak keinginan setiap orang untuk menulis
dan menggairahkan minat lebih banyak orang untuk menjadi penulis.
Seiring dengan bertumbuhnya
minat, semakin besar pula keinginan setiap orang untuk mengukuhkan eksistensi
sebagai penulis dalam wujud buku. Sebuah statemen yang didukung oleh
mengemukanya banyak persetujuan bahwa belum ‘sah’ seseorang dikatakan penulis
sungguhan sampai ia menghasilkan sebuah buku, telah menggiring pola pikir
banyak orang yang gemar menulis untuk membukukan karyanya. Bahkan saat
mengikuti Temu Sastrawan Indonesia III yang digelar tahun lalu, jelas termaktub
di salah satu poin penyelenggaraan, bahwa penulis yang berhak mengikuti even
tersebut adalah mereka yang telah memiliki (menerbitkan) buku.
Nyatanya selama ini
terdapat kendala dihadapi penulis termasuk yang pernah saya alami saat menawarkan
naskah kepada penerbit konvensional untuk dibukukan, antara lain:
- In-efisiensi waktu, oleh lamanya masa tunggu jawaban dari penerbit yang berkisar antara tiga bulan sampai dengan setahun. Untuk sebagian naskah yang mengangkat fenomena tren pada kurun waktu tertentu, maka lamanya tenggang waktu ini mengakibatkan naskah sudah out-of-date, tak jarang pula masa penantian panjang ini berbuah kekecewaan saat naskah ditolak oleh alasan ketidaksesuaian dengan segmentasi dan standar penerbit.
- Hak-hak penulis yang terabaikan oleh penerbit konvensional yang tidak menerapkan asas amanah dan profesionalitas terkadang turut menjadi bumerang. Mulai dari penundaan pembayaran atau pengingkaran royalti, buku tetap beredar namun tidak ada laporan tertulis dan komunikasi dengan penulis, dan sebagainya.
Dengan kata lain,
keberadaan penerbit konvensional nyatanya tak mampu mengaktualisasikan ekspresi
penulis secara optimal karena di dalamnya juga menyangkut kalkulasi bisnis saat
menerbitkan buku berskala masif yang membutuhkan budget besar
serta potensi serapan pasar yang sulit diramal sehingga berimplikasi pada
seleksi naskah yang ketat.
Maka, meningkatnya arus
keinginan ekspresi–eksistensi yang tak mampu terakomodasi optimal oleh penerbit
konvensional ini menjadi satu dari sekian alasan atas kian maraknya self
publishing berbasis POD dewasa ini. Dari sisi penerbit,
sistem ini jelas menguntungkan, karena penerbit tidak perlu mencetak buku dalam
jumlah masif, melainkan cukup disesuaikan dengan permintaan pasar, sehingga
meminimalisir resiko kerugian dan tidak perlu memikirkan penambahan gudang
penyimpanan atas tumpukan buku yang tak kunjung laku.
Jean Baptis Say, seorang ekonom klasik yang terkenal dengan hukum
Say mengatakan: production creates its own demand. Produksi dalam
jumlah masif akan menciptakan permintaan pasar. Bayangkan, jika aktivitas
produksi yang semestinya dilakukan dengan budget berskala
raksasa ini bisa ‘ditanggulangi bersama’ melalui penerbitan buku yang dibiayai
oleh masing-masing penulis melalui paket self publishing berbiaya
murah, berapa banyak production cost reduction yang bisa
dilakukan oleh penerbit?
Ditambah lagi dengan
beberapa fakta akan kondisi perbukuan tanah air, sebagaimana dilansir dari
situs berita Kompas akan lesunya angka penjualan buku
sepanjang tahun 2010, lebih lima puluh persen penerbit buku di Jawa Barat yang
mengalami kolaps, penerbit yang menurunkan angka produksi hingga tujuh puluh
persen, angka penjualan seribu eksemplar per judul buku yang baru tercapai
dalam kurun waktu satu hingga dua tahun, menambah deret alasan mengapa
aktivitas selfpublishing kian menarik minat bahkan
beberapa penerbit konvensional telah pun membuka lini khusus bagi self
publishing. Tak ayal lagi, kehadiran self publishing menjadi
angin segar bagi menjembatani kebutuhan aktualisasi ekspresi–eksistensi penulis
dengan kepentingan bisnis penerbitan sekaligus menggairahkan kreativitas
literasi tanah air.
Namun, bagaimana halnya
dengan kepentingan konsumen (pembaca) sebagai salah satu mata rantai bisnis
ini? Sesuai asas hukum ekonomi, pada akhirnya semua bermuara pada seleksi
pasar. Konsumen pembacalah yang kelak akan menentukan ke mana arah dari
perkembangan self publishingini. Sementara
itu terdapat kesenjangan yang perlahan mengemuka yaitu kekhawatiran akan efek
terhadap kualitas karya sebagai dampak kian tak terbendungnya arus
ekspresi–eksistensi penulis dan penerbitan berbasis POD yang mengakibatkan buku
dijual dengan harga mahal.
Dari sisi penulis yang
berorientasi pada niat murni untuk membagi inspirasi dan mengekspresikan
aktualisasi diri, tentu, selfpublishing berbasis POD akan
menjadi pilihan favorit tanpa memikirkan apakah karya kelak akan menguntungkan
dari sisi materil atau tidak. Dari sisi penerbit, sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya bahwa sistem ini dapat mendukung penggerakan produksi dengan resiko
kerugian yang minim, namun dari sisi konsumen (pembaca), boleh jadi dampak yang
terjadi adalah hal sebaliknya. Sebagaimana potensi akan laris-tidaknya buku di
pasaran yang sampai hari ini masih menjadi misteri, demikian pula halnya dengan
efek dari self publishing terhadap minat dan daya beli
pembaca.
Akankah fenomena ini kelak
justru ‘mengorbankan’ konsumen di saat membeli buku self publishing berharga
‘eksklusif’ dengan cara yang eksklusif pula namun pada kenyataannya hanya
segelintir buku produksi self publishing yang
mampu memberi efek ‘eksklusif’ pada kepuasan pembacanya? Atau dengan kata lain,
maraknya self publishing berbasis POD justru memunculkan
paradigma sebagai mesin produksi buku-buku ‘pecah telor’ para penulis yang haus
aktualisasi eksistensi-ekspresi, namun miskin kualitas dan disorientasi
terhadap selera pasar.
Apa pun kelanjutan dari
episode trickle down effect ini nantinya, roda selfpublishing akan
terus bergulir, menjadi wadah aktualisasi ekspresi (bagi penulis) dalam
merealisasikan mimpi-mimpi yang terejawantahkan dalam wujud karya,
meminimalisir resiko kerugian dan keharusan mengeluarkan banyak modal (bagi
penerbit), serta alternatif bacaan bagi para penikmat buku di samping buku-buku
yang dipasarkan secara konvensional.
Adalah suatu mimpi yang
layak dicanangkan sejak dini, sebagaimana prototype sebuah
butik yang hanya memproduksi garmen dalam jumlah terbatas dengan harga khusus,
namun memberi kepuasan yang setara, bahwa ke depannya kelak, self
publishingberbasis POD juga Berpotensi menjadi ‘exclusive publishing’, sebagai
tempatnya buku-buku bernilai eksklusif yang memang selayaknya dihargai secara
eksklusif dan memberi kepuasan yang eksklusif pula pada penikmat buku. Tentu,
dengan didukung arus masif kreativitas para penulis dalam mengaktualisasikan
eksistensi–ekspresi yang terus meningkat, dan penerbit yang tak lagi terpasung
pada kalkulasi untung-rugi saat harus menginvestasikan dana sangat besar pada
produksi massal, mimpi ini bukanlah hal mustahil. Akan datang suatu masa di
mana fenomena self publishing mampu mendorong generasi bangsa
ini menjadikan membaca dan menulis termasuk menerbitkan sebuah buku sebagai
budaya, yang insya Allah kelak akan berangkat menuju peradaban bangsa yang
eksklusif. Semoga!
Ditulis oleh : Riawani
Elyta
0 komentar: