Kamis, 23 Februari 2012

Self Publishing: Exclusive Publishing?



Self Publishing. Ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam dunia perbukuan tanah air. Dalam catatannya, Bambang Trim, seorang editor handal dan praktisi perbukuan nasional mendefinisikan ‘self publishing’ sebagai action seorang penulis saat memutuskan menerbitkan sendiri naskahnya dengan menyertakan investasi waktu dan dana, terlibat langsung dalam keseluruhan prosesnya mulai dari menggunakan jasa penerbitan, bernegosiasi dalam hal percetakan sampai ikut mengontrol pemasaran.

Dalam perkembangannya, self publishing kian marak dengan bertambahnya jumlah penerbit juga situs online yang memfasilitasi penerbitan buku secara mandiri oleh penulis yang berlangsung dalam akad Al-Mudharabah ini, di mana satu pihak (penulis) menyediakan seluruh modal dan pihak penerbit sebagai pengelola, dan selanjutnya keuntungan akan dibagi berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dengan cara ini seorang penulis akan mendapat manfaat ganda yaitu mampu mengembangkan writerpreneurship secara optimal dan secara materi pun berpotensi memperoleh imbalan lebih besar daripada menerbitkan melalui jalur konvensional penerbitan biasa.

Belakangan, kemunculan inovasi tekonologi cetak digital ‘Print on Demand’ (POD), yang memungkinkan buku dicetak mulai dari skala satu eksemplar sesuai permintaan, telah membuka peluang tanpa batas kepada setiap orang untuk menerbitkan bukunya sendiri. Tinggal menyiapkan naskah, lalu menghubungi penerbit atau situs online yang memfasilitasi self-publishing, melakukan transaksi pembayaran sesuai ketentuan, maka seseorang dapat menerbitkan bukunya sendiri dalam jumlah berapa pun, bahkan dimulai dari satu eksemplar!

Sebagai penulis dengan aktivitas literasi masih di bawah kurun waktu lima tahun dan memiliki beberapa antologi yang diterbitkan melalui self-publishing, ada beberapa manfaat saya peroleh dari sistem ini dibandingkan menempuh cara konvensional dengan menawarkan naskah kepada penerbit masif untuk kemudian diterbitkan dan didistribusikan dalam skala nasional. Manfaat yang saya rangkum dalam satu tagline sebagai aktualisasi ‘ekspresi – eksistensi’.

Mengekspresikan karya, tak dipungkiri telah menjadi ‘kebutuhan dasar’ seorang penulis. Ekspresi yang tak hanya untuk dinikmati sendirian melainkan juga seiring hasrat untuk melibatkan orang lain sebagai objek perespons atas ekspresi tersebut. Keberadaan dunia maya dengan fasilitas ‘digital diary’ berupa blog pribadi, juga kemunculan berbagai jejaring sosial kian mendorong setiap orang untuk mengekspresikan diri dan membagi inspirasi melalui tulisan. Harus diakui, bahwa kehadiran media maya ini turut mendongkrak keinginan setiap orang untuk menulis dan menggairahkan minat lebih banyak orang untuk menjadi penulis.

Seiring dengan bertumbuhnya minat, semakin besar pula keinginan setiap orang untuk mengukuhkan eksistensi sebagai penulis dalam wujud buku. Sebuah statemen yang didukung oleh mengemukanya banyak persetujuan bahwa belum ‘sah’ seseorang dikatakan penulis sungguhan sampai ia menghasilkan sebuah buku, telah menggiring pola pikir banyak orang yang gemar menulis untuk membukukan karyanya. Bahkan saat mengikuti Temu Sastrawan Indonesia III yang digelar tahun lalu, jelas termaktub di salah satu poin penyelenggaraan, bahwa penulis yang berhak mengikuti even tersebut adalah mereka yang telah memiliki (menerbitkan) buku.

Nyatanya selama ini terdapat kendala dihadapi penulis termasuk yang pernah saya alami saat menawarkan naskah kepada penerbit konvensional untuk dibukukan, antara lain:
  • In-efisiensi waktu, oleh lamanya masa tunggu jawaban dari penerbit yang berkisar antara tiga bulan sampai dengan setahun. Untuk sebagian naskah yang mengangkat fenomena tren pada kurun waktu tertentu, maka lamanya tenggang waktu ini mengakibatkan naskah sudah out-of-date, tak jarang pula masa penantian panjang ini berbuah kekecewaan saat naskah ditolak oleh alasan ketidaksesuaian dengan segmentasi dan standar penerbit.
  • Hak-hak penulis yang terabaikan oleh penerbit konvensional yang tidak menerapkan asas amanah dan profesionalitas terkadang turut menjadi bumerang. Mulai dari penundaan pembayaran atau pengingkaran royalti, buku tetap beredar namun tidak ada laporan tertulis dan komunikasi dengan penulis, dan sebagainya.

Dengan kata lain, keberadaan penerbit konvensional nyatanya tak mampu mengaktualisasikan ekspresi penulis secara optimal karena di dalamnya juga menyangkut kalkulasi bisnis saat menerbitkan buku berskala masif yang membutuhkan budget besar serta potensi serapan pasar yang sulit diramal sehingga berimplikasi pada seleksi naskah yang ketat.

Maka, meningkatnya arus keinginan ekspresi–eksistensi yang tak mampu terakomodasi optimal oleh penerbit konvensional ini menjadi satu dari sekian alasan atas kian maraknya self publishing berbasis POD dewasa ini. Dari sisi penerbit, sistem ini jelas menguntungkan, karena penerbit tidak perlu mencetak buku dalam jumlah masif, melainkan cukup disesuaikan dengan permintaan pasar, sehingga meminimalisir resiko kerugian dan tidak perlu memikirkan penambahan gudang penyimpanan atas tumpukan buku yang tak kunjung laku.

Jean Baptis Say, seorang ekonom klasik yang terkenal dengan hukum Say mengatakan: production creates its own demand. Produksi dalam jumlah masif akan menciptakan permintaan pasar. Bayangkan, jika aktivitas produksi yang semestinya dilakukan dengan budget berskala raksasa ini bisa ‘ditanggulangi bersama’ melalui penerbitan buku yang dibiayai oleh masing-masing penulis melalui paket self publishing berbiaya murah, berapa banyak production cost reduction yang bisa dilakukan oleh penerbit?

Ditambah lagi dengan beberapa fakta akan kondisi perbukuan tanah air, sebagaimana dilansir dari situs berita Kompas akan lesunya angka penjualan buku sepanjang tahun 2010, lebih lima puluh persen penerbit buku di Jawa Barat yang mengalami kolaps, penerbit yang menurunkan angka produksi hingga tujuh puluh persen, angka penjualan seribu eksemplar per judul buku yang baru tercapai dalam kurun waktu satu hingga dua tahun, menambah deret alasan mengapa aktivitas selfpublishing kian menarik minat bahkan beberapa penerbit konvensional telah pun membuka lini khusus bagi self publishing. Tak ayal lagi, kehadiran self publishing menjadi angin segar bagi menjembatani kebutuhan aktualisasi ekspresi–eksistensi penulis dengan kepentingan bisnis penerbitan sekaligus menggairahkan kreativitas literasi tanah air.

Namun, bagaimana halnya dengan kepentingan konsumen (pembaca) sebagai salah satu mata rantai bisnis ini? Sesuai asas hukum ekonomi, pada akhirnya semua bermuara pada seleksi pasar. Konsumen pembacalah yang kelak akan menentukan ke mana arah dari perkembangan self publishingini. Sementara itu terdapat kesenjangan yang perlahan mengemuka yaitu kekhawatiran akan efek terhadap kualitas karya sebagai dampak kian tak terbendungnya arus ekspresi–eksistensi penulis dan penerbitan berbasis POD yang mengakibatkan buku dijual dengan harga mahal.

Dari sisi penulis yang berorientasi pada niat murni untuk membagi inspirasi dan mengekspresikan aktualisasi diri, tentu, selfpublishing berbasis POD akan menjadi pilihan favorit tanpa memikirkan apakah karya kelak akan menguntungkan dari sisi materil atau tidak. Dari sisi penerbit, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sistem ini dapat mendukung penggerakan produksi dengan resiko kerugian yang minim, namun dari sisi konsumen (pembaca), boleh jadi dampak yang terjadi adalah hal sebaliknya. Sebagaimana potensi akan laris-tidaknya buku di pasaran yang sampai hari ini masih menjadi misteri, demikian pula halnya dengan efek dari self publishing terhadap minat dan daya beli pembaca.

Akankah fenomena ini kelak justru ‘mengorbankan’ konsumen di saat membeli buku self publishing berharga ‘eksklusif’ dengan cara yang eksklusif pula namun pada kenyataannya hanya segelintir buku produksi self publishing yang mampu memberi efek ‘eksklusif’ pada kepuasan pembacanya? Atau dengan kata lain, maraknya self publishing berbasis POD justru memunculkan paradigma sebagai mesin produksi buku-buku ‘pecah telor’ para penulis yang haus aktualisasi eksistensi-ekspresi, namun miskin kualitas dan disorientasi terhadap selera pasar.

Apa pun kelanjutan dari episode trickle down effect ini nantinya, roda selfpublishing akan terus bergulir, menjadi wadah aktualisasi ekspresi (bagi penulis) dalam merealisasikan mimpi-mimpi yang terejawantahkan dalam wujud karya, meminimalisir resiko kerugian dan keharusan mengeluarkan banyak modal (bagi penerbit), serta alternatif bacaan bagi para penikmat buku di samping buku-buku yang dipasarkan secara konvensional.

Adalah suatu mimpi yang layak dicanangkan sejak dini, sebagaimana prototype sebuah butik yang hanya memproduksi garmen dalam jumlah terbatas dengan harga khusus, namun memberi kepuasan yang setara, bahwa ke depannya kelak, self publishingberbasis POD juga Berpotensi menjadi ‘exclusive publishing’, sebagai tempatnya buku-buku bernilai eksklusif yang memang selayaknya dihargai secara eksklusif dan memberi kepuasan yang eksklusif pula pada penikmat buku. Tentu, dengan didukung arus masif kreativitas para penulis dalam mengaktualisasikan eksistensi–ekspresi yang terus meningkat, dan penerbit yang tak lagi terpasung pada kalkulasi untung-rugi saat harus menginvestasikan dana sangat besar pada produksi massal, mimpi ini bukanlah hal mustahil. Akan datang suatu masa di mana fenomena self publishing mampu mendorong generasi bangsa ini menjadikan membaca dan menulis termasuk menerbitkan sebuah buku sebagai budaya, yang insya Allah kelak akan berangkat menuju peradaban bangsa yang eksklusif. Semoga!

Ditulis oleh : Riawani Elyta

0 komentar: