Menerbitkan Buku di Self Publishing? Kenapa Tidak!
Beberapa tahun belakangan ini, ketertarikan pada dunia menulis dan membaca semakin menggeliat. Apa pun faktor yang mendorongnya, fenomena ini perlu direspons positif. Masyarakat yang membaca dan menulis adalah masyarakat yang lebih cerdas daripada masyarakat yang hanya pintar bicara.
Menurut Gleen Doman dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca.
Menulis adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban kita kepada kehidupan. Para penulis merasakan ada sesuatu yang membetot hatinya untuk menulis sesuatu yang berarti bagi masyarakat. Apalagi ketika ada sesuatu yang dapat merugikan masyarakat jika tidak diketahui, maka penulis mempunyai pertanggungjawaban moral untuk mengungkapkannya. (anneahira.com).
Kemudian, setelah membaca dan menulis, lantas apa? Kita harus berusaha membuat sebanyak mungkin orang membaca apa yang kita tulis. Kalau kita yakin apa yang kita tulis adalah hal positif dan berguna maka tak layak tulisan itu kita simpan sendiri. Read, Write, than Inspire!
Di sisi lain, kita melihat sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Ruang yang disediakan penerbit tidak akan mampu menampung apa yang ditulis masyarakat, sampai kapan pun. Faktor utama adalah seleksi. Sebagai entitas bisnis, penerbit hanya akan menerbitkan apa yang “bisa dijual” (dengan kriteria dan standar tertentu). Sangat bisa dimaklumi, karena ada modal besar yang berputar di sana. Untuk 1 judul buku saja uang puluhan juta rupiah harus disediakan supaya buku bisa dicetak dan terdistribusi di toko. Banyak penerbit menerima ratusan naskah tiap bulannya. Sebagian kecil akan lolos seleksi dan diterbitkan. Lalu, bagaimana dengan nasib tulisan yang tidak bisa diterbitkan, yang jumlahnya jauh lebih banyak?
Ketika menulis (dan menerbitkan buku) menjadi sesuatu yang “personal."
Sudah saatnya kita mengubah mindset kita. Bahwa menjadi penulis “sungguhan” haruslah mempunyai buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional, sehingga banyak orang bisa membacanya. Kemajuan teknologi bisa menjawab masalah ini. Internet bisa membuat buku Anda dilihat, dikenal, dan dibaca di seluruh Indonesia, bahkan dunia, meskipun tidak pernah masuk ke toko buku. Akses internet sekarang makin luas dan murah. Untuk Indonesia yang punya kondisi geografis kepulauan, jauh lebih mudah mengakses toko buku online daripada pergi ke toko buku. Banyak wilayah yang tidak terlayani toko buku.
LeutikaPrio (www.leutikaprio.com) adalah lini self publishing Leutika. Hadir untuk menjembatani berbagai hal di atas. Menerbitkan karya para penulis yang tidak berkesempatan diterbitkan penerbit dan didistribusikan (secara fisik) ke toko buku. Atau bahkan belum pernah ditawarkan ke penerbit karena sudah “ngeri” dulu melihat panjangnya antrian dan gunting seleksi penerbit yang “kejam”. Setelah terbit karya akan dipasarkan lewat toko online.
Sebuah pekerjaan self publishing (menerbitkan buku sendiri) sebenarnya memiliki banyak dimensi. Dimensi terpenting adalah dimensi personal dan emosional, di mana penulis bisa seutuhnya menumpahkan keinginan untuk menulis sebagaimana dikehendaki. Juga dengan tujuan yang bisa jadi sangat personal. Menulis untuk ulang tahun ibunya, contohnya. Atau menulis novel karena habis putus dengan pacarnya. Di penerbitan konvensional, hal seperti ini adalah barang langka, kecuali Anda adalah penulis yang sudah terkenal, dan penerbit memberi Anda kebebasan untuk menulis apa pun. Bagi yang memang ingin menjadi penulis (bukan sekadar suka menulis), dimensi personal ini adalah pengakuan atas karya mereka, sekalipun (awalnya) hanya oleh orang-orang terdekat. Rasa percaya diri pun muncul jika naskah yang mereka tulis, yang tadinya hanya tersimpan bertahun-tahun di-flashdisk, bisa mewujud dalam sebuah buku, dengan desain cover yang menarik dan di-layout rapi. Rasanya dimensi personal ini terlalu bernilai untuk dihargai. Berapa Anda mau membayar untuk sebuah kebahagiaan karena bisa menghadiahi ibu Anda sebuah buku, yang Anda tulis sendiri, pada hari ulang tahunnya?
Dimensi lain adalah dimensi kultural. Self publishing memberi ruang seluasnya bagi berkembangnya kebiasaan menulis (dan membaca). Menghilangkan sekat ‘selebriti’ kepenulisan. Sekarang, setiap orang bisa menulis dan menerbitkan karyanya. Bukan hanya mereka yang sudah terkenal sebagai penulis. Atau mereka yang sudah terkenal (di bidang lain) kemudian menulis. Facebook dan Youtube adalah contoh nyata betapa setiap orang bisa menjadi selebriti dalam hidup mereka masing-masing. Efek negatif pasti ada, tapi mau tidak mau, inilah landskap yang terbentuk saat ini.
Dimensi berikutnya yang sering menjadi perdebatan—adalah kualitas naskah. Banyak pihak beranggapan menerbitkan lewat self publishing kurang bergengsi karena karya pasti bisa terbit karena sudah membayar. Kualitas naskah juga dipertanyakan. Kalau kembali ke ulasan sebelumnya, rasanya tidak sepenuhnya benar. Apakah seleksi naskah oleh penerbit (konvensional) selalu terkait dengan “kualitas” tulisan? Sayangnya tidak. Artinya belum tentu naskah yang berkualitas akan selalu diterima dan diterbitkan. Dan kalaupun buku yang “berkualitas” diterbitkan, ternyata belum tentu juga akan laris diserap pasar. Jadi tidak ada analogi yang bisa dipakai untuk melihat hubungan antara “kualitas” naskah, diterbitkannya sebuah buku, dan apalagi larisnya buku di pasar.
Naskah-naskah yang ditolak untuk diterbitkan (secara konvensional) belum tentu kualitasnya buruk, demikian juga sebaliknya. LeutikaPrio berupaya memberi sentuhan pada penampilan (cover, layout) dan editing aksara/EYD untuk memunculkan ‘aura positif’ bagi tiap buku yang terbit. Buku juga akan dipajang di website yang komprehensif dan berkelas. Soal kualitas naskah, biarkan pembaca yang menilai. Banyak buku yang terbit di LeutikaPrio menunjukkan potensi besar dari penulis-penulisnya. Dan menerbitkan buku sendiri, adalah salah satu langkah besar yang patut diapresiasi.
0 komentar: